Copyright © Amelia Nur Amanah
Design by Nobel Nugraha
Senin, 05 Mei 2014

Say something


Cerita ini terinspirasi oleh lagu "Say something - A Great Big World ft Christina Aguilera."





“Say something I’m giving up on you,
I’ll be the one if you want me to..”

Pagi itu wajahmu mendung, sunyi berlari-lari di kepalamu. Aku bisa membaca semua itu dibalik cekung matamu. Mata yang dulunya indah bersinar dan juga senyum sumringah bak kelopak bunga yang mekar. Kamu tak mampu kusapa lagi. Katakan sesuatu .. bagaimana aku bisa menjadi yang pertama seperti dulu?

“Anywhere I would’ve followed you,
Say something I’m giving up on you..”

Malam ini seperti biasa, kamu berjalan gontai kearah kamar. Langkahmu tak tentu, matamu sayu, pikiranmu terbelenggu. Aku mencoba membantumu tapi.. “BRUGG!!” kamu mendorongku. Lagi dan lagi. Andai Tuhan mengizinkan untuk menukar nyawa dengan suara sekali saja. Aku ingin bilang hentikan semuanya, Nak. Kemanapun aku akan mengikutimu, katakan sesuatu.. bahwa kau menyerah padaku.

“And I’m feeling so small, it was over my head,
I know nothing at all..”

Aku pulang kerumah. Ruang  tamu yang berserakan disetiap sisinya. Sampah makanan ringan, berpuluh botol miras, dan jarum suntik yang hampir saja terinjak olehku. Aku masuk keruang tengah yang dibatasi oleh gorden lusuh, terdengar samar-samar senda gurau lelaki di kamarmu. Sudah kuperingatkan berulang kali kalau aku tak suka kamu membawa hidung belang itu lagi ke rumah ini. Aku menerobos masuk ke kamarmu tanpa mengetuk. Aku marah tetapi tak terucap. Kutarik lelaki itu dan aku menamparmu. Namun kamu mendorongku. Lagi dan lagi. Dan aku merasa begitu kecil, kamu jauh dari jangkauanku, aku tak bisa berbuat apa-apa.


“And I will stumble and fall, I’m still learning to love,
Just starting to crawl..”

Kubuatkan capcai kesukaanmu, meskipun tidak ada ayam dan bakso didalamnya, namun sawi dan wortel sudah mewah bagi kita berdua. Setidaknya bagiku. Karena kamu selalu mencibir mengapa hanya ada ubi dan selalu saja ubi di meja makan. Dulu sewaktu kamu kecil, aku berharap kamu menjadi terangku dan tak akan pernah meninggalkanku seperti ayahmu. Hanya karena aku bisu. Namun sayang, harapan ya hanya harapan. Kamu yang sekarang tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, mata dan hidungmu indah seperti milik ayahmu. Kamu yang sekarang memilih mencumbu lelaki untuk mendapat bahagiamu. Maafkan aku.. Aku akan tersandung dan terjatuh, aku masih belajar bagaimana dicintai olehmu.

“And I will swallow my pride, you’re the one that I love,
And I’m saying goodbye..”

Aku mengais tong sampah yang satu ke tong sampah lainnya. Berburu plastik atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Setidaknya untuk mengisi perut kosong kita malam ini. Dua karung barang bekas hari ini sangat melegakan bagiku, aku bisa membawakanmu nasi bungkus meskipun hanya lauk telur untuk ditampung perut kecilmu. Aku bergegas pulang, membawa rasa penat yang hampir tak terasa karena terbiasa. Baju oblong polos, dan celana motif bunga dan tambal dimana-mana tak kuperdulikan. Yang aku pikirkan sekarang hanya kamu. Karena hari ini adalah ulangtahun-mu. Rumah dengan atap seng dan dinding bata adalah istana kecil kita, tempat tidur tikar yang selalu menenangkan walau dingin kadang menusuk. Tetapi dingin sikapmu lebih dalam sampai ke relung. Kubuka perlahan pintu yang tak terkunci itu, menelusuri ruang tamu dan kamarmu yang ada di sebelah kiri dapur. Aku melihatmu dikamar, meringkuk, sembab dikedua matamu, jemarimu bergetar memegang benda tipis berwarna putih dengan dua garis merah. Aku mencoba menenangkanmu namun kau memaki, kau tepis tanganku saat akan menyeka air matamu. Mendung menggelayut namun hujan lebih dulu sampai di kedua matamu. Mataku juga tentunya. Kutinggalkan kamu sejenak, berharap kamu menyadari apa yang telah kamu lakukan dan berubah sebagaimana mestinya. Angin pukul dua puluh dua menyapa, aku kembali kerumah. Ku ketuk pintu kamarmu beberapa kali tetapi tak ada sahutan.   Kuputar gagang pintu kayu tua itu dan mendapatimu berdarah-darah disudut kamar. Jantungku serasa ingin keluar, darahku mengalir cepat, mataku terbelalak. Kutelanjangi seisi kamar, dan melihatmu menggenggam sepucuk surat.

“Bu, maafkan aku ..
Maafkan anakmu ini yang lebih memilih jalan pintas untuk menghidupkan apa yang mereka sebut bahagia.
Maafkan anakmu ini yang lebih memilih anggur untuk menghilangkan apa yang mereka sebut derita. Meskipun hanya terlupa untuk sementara.
Maafkan anakmu ini yang lebih memilih hingar bingar dunia malam untuk mengusir sepi yang berpesta di kepala.
Jika kamu membaca surat ini mungkin aku sudah terbang jauh ke neraka. Biar saja. Aku tak ingin menambah deritamu, Bu. Kamu yang tak mampu melawan ketika tetangga mencibir tentang pekerjaanku, tentang bisunya dirimu. Aku tak sanggup jika harus mendengar cemooh orang tentang anak ini yang tak ku ketahui siapa ayahnya. Biarkan aku mati bersama anak ini, bersama dosa ini, Bu.
Dan kan kubuang gengsiku, kaulah orang yang kucinta, dan kuucap selamat tinggal..
Ampuni aku, Bu..”