"Sudah lelah?" bisikku.
"Belum, kita baru saja memulai." katamu dengan suara parau.
Kita berdua terdiam, bertingkah seakan tidak akan terjadi apa-apa. Meski kita berdua tahu sedang berada di bibir jurang, namun genggaman tetap tak ingin lepas. Mencoba melewati walau tahu mungkin perasaan yang menjadi korbannya.
"Kamu masih bisa memilih."
"Pilihan apa?" dia menatap mataku lekat-lekat.
"Pilihan untuk bertahan atau kamu cari kebahagiaan lain."
"Yang mungkin menunggumu diluar sana." sambungku.
Dia mengalihkan pandangannya dan menghela nafas panjang.
"Aku sudah berdarah-darah dari awal untuk ngedapetin kamu, jadi ayo kita selesaikan ini. Aku akan ngelakuin yang terbaik, dan aku percaya kamu pun begitu." sorot matanya membuat degupku makin liar, gumpalan mendung di mataku mulai deras, membasahi pipiku yang merah malam itu.
Hatiku ngilu seketika, melihat ia yang percaya kita akan baik-baik saja namun aku malah pasrah pada keadaan— pada ribuan mil jarak yang akan menampung rindu, pada kepercayaan yang kita rajut, atau pada prasangka yang akan kita bunuh.
Selemah itukah aku?
Kurebahkan tubuhku di dadanya, menghirup harum tubuhnya dalam-dalam, lalu dipeluknya aku hingga terlelap.
Semesta, kumohon kekalkan waktu seperti ini saja.