Copyright © Amelia Nur Amanah
Design by Nobel Nugraha
Senin, 20 April 2015

:)

Terkadang kamu hanya butuh angin segar untuk kau hirup dalam-dalam saat hidup mulai terasa sesak.

Terkadang kamu hanya butuh sebuah pundak untuk kau rasakan hangatnya saat mata mulai ingin terisak.

Terkadang kamu hanya butuh hal-hal sepele dalam hidup untuk sejenak melepaskan bebanmu yang berat itu.
Mungkin secangkir kopi.

Mungkin menonton film.

Mungkin duduk di beranda dan membaca sebuah buku.

Dalam hidup, sebuah masalah tidak pernah benar-benar ada, karena kitalah yang menciptakannya.

Hidup hanya perihal keinginanmu dan keinginan-Nya.

Keinginan-Nya terkadang tak pernah kau mengerti, karena kaupun tak pernah benar-benar mengerti keinginanmu sendiri.

Maka teruslah bergerak hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.

Teruslah berlari hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.

Teruslah berjalan hingga keletihan itu letih bersamamu.

Teruslah berjaga hingga kelesuan itu lesu menemanimu.

Tabahlah.

Hingga malaikat jenuh mengagumi kuatmu.

Hingga iblis pun lelah menggodamu menyerah.

Sampai akhirnya kaupun sadar bahwa kau ternyata baik-baik saja.



Bandar Lampung, 20/40/2015 19:42

Senin, 02 Februari 2015

Your sweetest seventeenth

Selamat malam, kamu. Aku harap wanita jalang ini tidak mengganggu tidurmu dengan sajaknya.
Aku ingin kamu mendengarkan ceritaku saat kamu terlelap,  karena saat matamu terbuka aku tidak sanggup lagi merangkai kata-kata; bahkan menatap matamu saja aku melayang.

Aku tidak pernah tahu mengapa pundakmu begitu candu serupa pelukan ibu. Aku juga tak mengerti detak di masing-masing dada kita,  dan aliran darah yang melesat serupa petasan; meledak-ledak. Melemparkan kita jauh ke atmosfer yang membuat kita sulit bernafas ketika bibir kita saling bersentuhan.
Mungkin saat ini aku tak mampu lagi untuk tidak mengingatmu, semua tentangmu tersimpan rapih di dalam benak. Melahirkan rindu yang terus beranak-pinak.

Aku tidak pernah berjanji akan terus mencintaimu. Yang aku tahu aku cinta kau hari ini, entah esok hari, entah lusa nanti. Entah.
Mungkin jauh setelah hari ini, kita tak bersama lagi, atau mungkin kamu tetap menggenggam tanganku erat dan kita akan saling jatuh cinta lagi. Mungkin.
Karena kamu serupa air; tenang, dingin, dan membuatku basah berkali-kali. Membiarkanku menyelam di dadamu selama aku mau. Karena dadamu yang bidang adalah sebenar-benarnya pulang.
Sayang, terimakasih untuk tetap mengizinkanku berjalan beriringan.
Maafkan aku yang memilih nada tinggi untuk sebuah peduli.
Selamat mengulang tahun, sayang. Maha aamiin atas segala doa baik. Teruslah ikuti arah hidup kemana ia membawamu, dan jangan risaukan debu yang menelusup ke matamu, atau kerikil yang membuatmu jatuh dan tersandung. Tetaplah tenang seperti saka yang kukenal selama ini. Jangan pikirkan yang tidak semestinya kau pikirkan. Dan terakhir... jangan lupa bahagia.

Aku, yang menggenggam erat tangan kirimu.

Kamis, 13 November 2014

Throwback

Malam itu kau duduk dengan gelisah pikiranmu buncah ke segala arah. aku yang tenang berharap sedikit pandang darimu.
dering handphone pun seperti tak mengerti akan dua insan ini.
kecupanku memecah sunyi.
kamu memandang lirih.
Ah.. jangan kau pikirkan perasaanku disini, sayang.
aku hanya penenang untuk tiap masalah yang semakin hari nampak semakin jalang.
langkahmu yang kadang tak tentu arah.
masa lalumu bersarang enggan berpindah.
kita terlalu banyak berjuang hanya untuk sebuah permulaan.
lelah? mungkin.
sakit? tentu saja.
tetapi aku tahu,
kesulitan inilah bumbu paling manis untuk sajian cinta kita.
yang kelak kan kita hidangkan pada anak cucu kita
dengan duduk bersila di beranda
dan kita berdua yang menertawakan dunia.

Batam, 30 Mei 2014

Kamis, 24 Juli 2014

Kamu, Kita, dan Semesta



"Sudah lelah?" bisikku.

"Belum, kita baru saja memulai." katamu dengan suara parau.


Kita berdua terdiam, bertingkah seakan tidak akan terjadi apa-apa. Meski kita berdua tahu sedang berada di bibir jurang, namun genggaman tetap tak ingin lepas. Mencoba melewati walau tahu mungkin perasaan yang menjadi korbannya.

"Kamu masih bisa memilih." 

"Pilihan apa?" dia menatap mataku lekat-lekat. 

"Pilihan untuk bertahan atau kamu cari kebahagiaan lain." 

"Yang mungkin menunggumu diluar sana." sambungku. 

Dia mengalihkan pandangannya dan menghela nafas panjang.
 
"Aku sudah berdarah-darah dari awal untuk ngedapetin kamu, jadi ayo kita selesaikan ini. Aku akan ngelakuin yang terbaik, dan aku percaya kamu pun begitu." sorot matanya membuat degupku makin liar, gumpalan mendung di mataku mulai deras, membasahi pipiku yang merah malam itu. 

Hatiku ngilu seketika, melihat ia yang percaya kita akan baik-baik saja namun aku malah pasrah pada keadaan— pada ribuan mil jarak yang akan menampung rindu, pada kepercayaan yang kita rajut, atau pada prasangka yang akan kita bunuh.


Selemah itukah aku?
Kurebahkan tubuhku di dadanya, menghirup harum tubuhnya dalam-dalam, lalu dipeluknya aku hingga terlelap.
Semesta, kumohon kekalkan waktu seperti ini saja.
Selasa, 17 Juni 2014

Memilikimu Setidaknya

Hari ini akan menjadi hari paling bersejarah bagi Apek, karena ia akan menyatakan cinta pada sahabat sejak ia masih menjadi embrio; Amoy. Apek berdiri menatap kaca sambil sesekali mengoleskan minyak jelantah ke rambutnya. Setelah sekian lama, akhirnya keberanian itu muncul juga. Dengan tergesa-gesa Apek mengambil kunci motor vespa-nya yang tergeletak di atas meja dan berjalan keluar rumah.

Sesampainya di taman, Apek menghampiri Amoy yang tengah duduk di sebuah kursi. Wanita dengan lesung pipit itu mengumbar senyum menyambut kedatangan Apek, giginya yang jarang di tengah bak jalan tol membuat Apek hampir mimisan karena terpesona. 

Iya begitulah cinta. 

"Udah lama nunggu ya?" kata Apek seraya duduk di sebelah wanitanya itu. 
"Hmm lumayan." 
"Oh sorry, tadi aku nyebokin adekku sebelum datang kesini." kata Apek dengan perasaan grogi. 
"Enggak apa-apa kok, aku juga nungguin kamu sambil gigit rumput biar gak bosen." jawab Amoy penuh senyum. Rambut gimbalnya yang terurai indah tertiup angin membuat Apek semakin tak berdaya. 
"Moy, aku mau ngomong sesuatu." 
kata Apek menatap Amoy dalam-dalam. 
"Ngomong apaan?" 
"Aku selama ini suka sama kamu." jawab Apek dengan nada ragu-ragu. 
"Kenapa kamu suka sama aku? Bukannya selama ini kita berteman?" Amoy mengernyitkan alisnya.
"Aku udah suka  sama kamu dari pertama kali ngeliat kamu jemurin baju di belakang rumahmu." jawab Apek polos. 
"Hmm terus?"
"Terus setelah tahu kita ternyata satu sekolah, aku jadi lebih suka dan berani untuk ngedeketin kamu. Yaa walaupun hanya sebatas teman gak apa-apa. Aku senang selama ini dekat sama kamu."
"Aku senang kamu berani untuk ngungkapin perasaan kamu ke aku Pek, tapi aku selama ini gak pernah nganggep kamu lebih. Toh di hatiku juga sudah ada orang lain." 
"Siapa, Moy?" tanya Apek menahan letupan di dadanya. 
"Dia Angga, temen sekolah kita yang sering juara karena suka bikin karya seni dari permen karet bekas itu lho." 
"Dulu mungkin aku punya perasaan yang sama seperti kamu, tapi aku gak melihat tanda-tandanya atau memang mungkin aku yang gak peka. Tapi dia lebih berani ngungkapin perasaannya jauh sebelum kamu Pek."
Apek terpaku. Iya. Dalam hal ini memang tidak ada yang bisa disalahkan, semuanya hanya perihal waktu.

Amoy berdiri, melangkah menjauhi Apek meninggalkan taman lalu lama-lama menghilang. Apek sedang berusaha menata perasaannya saat ini. Hari sudah semakin senja, matahari hendak bertugas di belahan bumi lainnya. Apek yang masih terduduk di bangku taman akhirnya memutuskan untuk pulang. Membawa luka dan cinta.