Cerita ini terinspirasi oleh lagu "Say something - A Great Big World ft Christina Aguilera."
“Say something I’m giving up on you,
I’ll be the one if you want me to..”
Pagi itu
wajahmu mendung, sunyi berlari-lari di kepalamu. Aku bisa membaca semua itu
dibalik cekung matamu. Mata yang dulunya indah bersinar dan juga senyum
sumringah bak kelopak bunga yang mekar. Kamu tak mampu kusapa lagi. Katakan
sesuatu .. bagaimana aku bisa menjadi yang pertama seperti dulu?
“Anywhere I would’ve followed you,
Say something I’m giving up on you..”
Malam ini
seperti biasa, kamu berjalan gontai kearah kamar. Langkahmu tak tentu, matamu
sayu, pikiranmu terbelenggu. Aku mencoba membantumu tapi.. “BRUGG!!” kamu
mendorongku. Lagi dan lagi. Andai Tuhan mengizinkan untuk menukar nyawa dengan
suara sekali saja. Aku ingin bilang hentikan semuanya, Nak. Kemanapun aku akan
mengikutimu, katakan sesuatu.. bahwa kau menyerah padaku.
“And I’m feeling so small, it was over my head,
I know nothing at all..”
Aku pulang
kerumah. Ruang tamu yang berserakan
disetiap sisinya. Sampah makanan ringan, berpuluh botol miras, dan jarum suntik
yang hampir saja terinjak olehku. Aku masuk keruang tengah yang dibatasi oleh
gorden lusuh, terdengar samar-samar senda gurau lelaki di kamarmu. Sudah kuperingatkan
berulang kali kalau aku tak suka kamu membawa hidung belang itu lagi ke rumah
ini. Aku menerobos masuk ke kamarmu tanpa mengetuk. Aku marah tetapi tak
terucap. Kutarik lelaki itu dan aku menamparmu. Namun kamu mendorongku. Lagi dan
lagi. Dan aku merasa begitu kecil, kamu jauh dari jangkauanku, aku tak bisa
berbuat apa-apa.
“And I will stumble and fall, I’m still learning to love,
Just starting to crawl..”
Kubuatkan capcai
kesukaanmu, meskipun tidak ada ayam dan bakso didalamnya, namun sawi dan wortel
sudah mewah bagi kita berdua. Setidaknya bagiku. Karena kamu selalu mencibir
mengapa hanya ada ubi dan selalu saja ubi di meja makan. Dulu sewaktu kamu
kecil, aku berharap kamu menjadi terangku dan tak akan pernah meninggalkanku
seperti ayahmu. Hanya karena aku bisu. Namun sayang, harapan ya hanya harapan. Kamu
yang sekarang tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, mata dan hidungmu indah
seperti milik ayahmu. Kamu yang sekarang memilih mencumbu lelaki untuk mendapat
bahagiamu. Maafkan aku.. Aku akan tersandung dan terjatuh, aku masih belajar
bagaimana dicintai olehmu.
“And I will swallow my pride, you’re the one that I love,
And I’m saying goodbye..”
Aku mengais
tong sampah yang satu ke tong sampah lainnya. Berburu plastik atau apa saja
yang bisa menghasilkan uang. Setidaknya untuk mengisi perut kosong kita malam
ini. Dua karung barang bekas hari ini sangat melegakan bagiku, aku bisa
membawakanmu nasi bungkus meskipun hanya lauk telur untuk ditampung perut
kecilmu. Aku bergegas pulang, membawa rasa penat yang hampir tak terasa karena
terbiasa. Baju oblong polos, dan celana motif bunga dan tambal dimana-mana tak
kuperdulikan. Yang aku pikirkan sekarang hanya kamu. Karena hari ini adalah
ulangtahun-mu. Rumah dengan atap seng dan dinding bata adalah istana kecil
kita, tempat tidur tikar yang selalu menenangkan walau dingin kadang menusuk. Tetapi
dingin sikapmu lebih dalam sampai ke relung. Kubuka perlahan pintu yang tak
terkunci itu, menelusuri ruang tamu dan kamarmu yang ada di sebelah kiri dapur.
Aku melihatmu dikamar, meringkuk, sembab dikedua matamu, jemarimu bergetar
memegang benda tipis berwarna putih dengan dua garis merah. Aku mencoba
menenangkanmu namun kau memaki, kau tepis tanganku saat akan menyeka air
matamu. Mendung menggelayut namun hujan lebih dulu sampai di kedua matamu. Mataku
juga tentunya. Kutinggalkan kamu sejenak, berharap kamu menyadari apa yang
telah kamu lakukan dan berubah sebagaimana mestinya. Angin pukul dua puluh dua
menyapa, aku kembali kerumah. Ku ketuk pintu kamarmu beberapa kali tetapi tak
ada sahutan. Kuputar gagang pintu kayu tua itu dan
mendapatimu berdarah-darah disudut kamar. Jantungku serasa ingin keluar,
darahku mengalir cepat, mataku terbelalak. Kutelanjangi seisi kamar, dan
melihatmu menggenggam sepucuk surat.
“Bu, maafkan aku ..
Maafkan anakmu ini yang
lebih memilih jalan pintas untuk menghidupkan apa yang mereka sebut bahagia.
Maafkan anakmu ini yang
lebih memilih anggur untuk menghilangkan apa yang mereka sebut derita. Meskipun
hanya terlupa untuk sementara.
Maafkan anakmu ini yang
lebih memilih hingar bingar dunia malam untuk mengusir sepi yang berpesta di
kepala.
Jika kamu membaca surat
ini mungkin aku sudah terbang jauh ke neraka. Biar saja. Aku tak ingin menambah
deritamu, Bu. Kamu yang tak mampu melawan ketika tetangga mencibir tentang
pekerjaanku, tentang bisunya dirimu. Aku tak sanggup jika harus mendengar
cemooh orang tentang anak ini yang tak ku ketahui siapa ayahnya. Biarkan aku
mati bersama anak ini, bersama dosa ini, Bu.
Dan kan kubuang
gengsiku, kaulah orang yang kucinta, dan kuucap selamat tinggal..
Ampuni aku, Bu..”
Mantab..... "Jantungku serasa ingin keluar, darahku mengalir cepat, mataku terbelalak. Kutelanjangi seisi kamar, dan melihatmu menggenggam sepucuk surat."
BalasHapus