Copyright © Amelia Nur Amanah
Design by Nobel Nugraha
Senin, 17 Februari 2014

Si Hidung Bolu Kukus

Kita mungkin sering bertengkar, setiap hari  kemarahan  serasa berada diujung kepala. Kamar kita yang tak kunjung terpisah saat mental menuju dewasa membuat kita selalu berdebat. Tentang buku yang berserak, sampah dimana-mana dan pakaian kotor disetiap sudut kamar. Sifatmu yang pembersih seperti kebanyakan gadis lainnya dan kelakuanku layaknya bujangan yang tak karuan itu sangat bertentangan. Membuat kau yang kerapkali dipusingkan oleh berlembar-lembar kertas berisi omong kosong  menjadi semakin murka melihat kamar yang seperti pasar malam.

Tahukah kau wanita jalang, suara kita yang terdengar sama ditelefon membuat lelakimu keliru ketika kuangkat panggilan di-handphone blackberry-mu itu sangat lucu. Wajah bulat dengan bintik merah tanda kau sudah beranjak remaja dan hidung besar seperti bolu kukus yang mengembang dan sedikit berminyak ketika kau sedang lelah itu sangat kurindukan.
Betapa menggelikannya jika mengingat aku diam-diam menyelipkan bajumu dilemariku untuk kupakai keesokan harinya saat kencan dengan kekasihku dan sangat kaget ketika baju yang bahkan belum kaupakai itu tergeletak dikeranjang pakaian kotor. Kau mungkin marah dan berteriak tetapi tidak dengan hatimu yang sesungguhnya sangat menyayangiku.

Perkelahian yang biasa setiap hari terdengar bahkan ditengah malam itu sekarang tak bergeming  lagi. Saat aku memutuskan untuk tinggal terpisah denganmu, awalnya kau sangat senang mendengar hal itu karena tak sanggup lagi mengurusku. Tetapi lama-kelamaan rindu itu tumbuh juga dan mulai ada percikan tawa disetiap percakapan telefon.
Wanita yang pandai bersolek dan bisa berkeliling selama tiga jam penuh tanpa henti hanya untuk membeli beberapa helai pakaian itu sekarang tak bisa kupeluk lagi ketika berfoto.
Wanita itu sekarang sedang mengabdi disebuah kampung terpencil untuk menjalani KKN yang sudah ditentukan oleh pihak kampusnya. Kerapkali Ia menelfonku untuk meminta dikirimkan beberapa rupiah pulsa agar bisa tetap berhubungan.
Dan tahukah kau? Aku memiliki firasat tidak enak saat Ia harus jauh dari kota. Iya. Aku mengkhawatirkannya.
Aku khawatir pada seseorang yang bahkan bisa kubuat menangis karena kulayangkan benda dan pukulan. Dalam hatiku aku juga menyayanginya.

Hey idiot yang selalu berteriak. Berjuanglah lebih keras lagi untuk tanda dibelakang nama agar kau bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dan kita akan saling bersalaman dengan senyum yang mengembang saat sama-sama dipuncak. Karena pada saatnya aku akan merasakan bagaimana diposisimu.
Be strong Be brave!

Untuk wanita jalang yang cerewetnya bukan kepalang. Tapi selalu kusayang.

Rabu, 05 Februari 2014

Asalkan ada Dia

Aku duduk bersimpuh di balkon rumahku menikmati angin sore yang sudah bercampur polusi. Dengan sekaleng bir dan headset yang tak lepas dari telinga mendentumkan suara musik yang memecah keheningan.
Didaerah yang penuh kepura-puraan ini aku (harus) bertahan. Dimana meninggikan gengsi adalah caramu diterima oleh masyarakat. Menebar senyum palsu bagaikan seorang penjilat.
Tempat dimana barang gelap diperjualbelikan, pekerja industri yang mencari kesenangan dunia, wanita jalang dan lelaki hidung belang bermesra disetiap tempat maksiat, dan lelaki berpoles makeup mudah kau jumpai di simpang terdekat.

Menenggak bir mungkin adalah cara termudah agar aku cepat terlelap, agar dunia dan segala perbincangan orang tak terasa terlalu berat, agar bayangmu yang seperti slideshow tak terus berjalan di layar proyektor otak.
"Woy ngapain bengong disitu! " tetangga sekaligus teman sekelasku berteriak memanggilku dari balkon kamarnya yang terletak diseberang rumahku.
"Ah elu nyet ngagetin aja gua kira siapa, sini gabung daripada dikamar mulu" jawabku sekenanya.
"Oke!" katanya seraya berlari kecil turun dari rumahnya untuk menghampiriku.
Kudengar suara gerbang terbuka dan dia menaiki tangga yang memang terletak diluar rumah.
"Ngapain disini? Giliran yang enak gak ngajak-ngajak " gerutunya lalu menenggak carlsberg dingin disebelahku. Aku hanya cekikikan tanpa arti. Aku memang sering berbagi tangis dengannya, menumpahkan sakitku dibahunya, meneriakkan sumpahku pada mereka yang mencibir di telinganya, tetapi dia tak pernah merasa terganggu oleh kelakuanku yang seperti itu karena dia selalu siap menjadi tempat bersandar yang nyaman dan tangan halusnya itu selalu menyeka air mata dan menepuk pundakku.

Didaerah lahirnya gurindam 12 ini aku tidak menyangka bahwa akan mendapatkan sahabat seperti dia. Dia seperti tak lelah mendengar keluh kesahku, tentang seseorang disana yang sudah terlalu banyak menancapkan duri dijantungku, tentang sosok Ayah yang melayangkan pukulan dikepala hingga memar berkali-kali, tentang yang dulu seorang sahabat tiba-tiba menjadi seorang yang keparat.

Entahlah teman.. saat bersama dengannya selama apapun itu seakan terlewati hanya sekejap mata, terkadang aku hanya melewati mingguku dengan bersandar dipundaknya dan membisu tetapi seakan telah berbincang sangat lama dengannya.
Kedekatan kami tidak pantas disebut sebagai sahabat tetapi terlalu canggung untuk menyebutnya sebagai sepasang kekasih. Kami seperti nyaman dengan segala ketidak-jelasan ini. Ketidak-jelasan yang membuatnya menjadi indah, jadi candu jadi rindu...

Suatu malam hujan dengan dingin yang menusuk, suara angin beradu, dan petir yang mengkilat disetiap sisi langit ia dikamarku. Malam ini seperti biasa aku bersandar dipundaknya, suara gemuruh malam itu menambah erat pelukannya. Sambil menatap layar TV ditemani dua gelas coklat panas dan Ia disisiku semua terasa lengkap. Aku tak perlu merasa ketakutan walau diluar terjadi hujan dan badai sekalipun. Asalkan ada dia.
Dia mengelus rambutku yang tergerai sebahu dan mengecup keningku. Aku tersentak, kutatap matanya dalam-dalam. Dia juga membalas tatapanku dan tersenyum lirih. Entah apa artinya senyuman itu tetapi terhenti saat dia mengecup bibirku.
Aku memejamkan mata dengan bibir setengah menganga mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Dia menyebut namaku dan berkata "Mel, berjanjilah untuk tetap menjadi sahabat terbaikku."
Aku terdiam. Setelah ciuman pertama ku itu dia masih ingin kita (hanya)  bersahabat?
Aku hanya mengangguk pelan.

Tidak apa-apa. Asalkan ada dia.

Sabtu, 01 Februari 2014

Lamunan selai kacang

Aku terduduk menikmati semilir angin laut yang dingin yang tak lebih beku dari sikapmu. Sambil menatap plafon dunia yang dihiasi cahaya yang tampak lebih kecil dari ukuran sebenarnya karena jarak. Iya. Mungkin kamu layaknya taburan bintang itu, yang akan tetap indah meski terhalang jarak dan tak bisa kugapai. Tapi selalu setia memperhatikanku dari balik awan-awan.

Aku termenung disini duduk disebuah lesehan makanan dengan taburan selai kacang kesukaanku. Dengan suara deru kendaraan, penggorengan, dan semerbak bumbu khas jawa yang kental aku mencoba mengingat satu tahun yang lalu.
Saat dimana hujan menahan kita berdua disebuah ruko kecil sepulang sekolah. Yang semula ruko itu ramai oleh anak-anak lain yang juga berteduh karena cuaca siang itu sungguh tak bersahabat kemudian satu per satu pergi saat hujan mulai mereda.
Kita berdua masih bertahan disitu seperti tak ingin kehilangan momen, saat aku ingin berlari dan mencoba melawan hujan kamu melarangku. Kamu menggenggam tanganku erat-erat menghembuskan angin hangat dari bibirmu yang tebal, kejadian itu sangat jelas teringat seperti tertulis di setiap sel otakku. Dengan baju yang lembab kita berjalan beriringan, menggenggam tangan, sesekali bermain dengan hujan dan genangan air. Seragam sekolah yang basah kuyup waktu itu seperti tak terasa karena kehangatan dihati kita masing-masing.

Mungkin hal seperti itu tidak akan terjadi lagi setelah aku memutuskan untuk pergi kedunia yang belum kukenal, daerah yang jauh dari pandanganmu, dan tempat orang asing berlalu-lalang dihadapanku. Tahukah kau Sayang bahwa aku selalu merindukan jejakmu disini? Merindukan setiap hal yang biasa kau lakukan, gayamu saat makan dan tutur bahasamu, terlebih lagi saat kamu tersenyum dan melingkarkan jemarimu dijemariku.
Lebih rindu lagi kepada harum rambut dari kepala yang biasanya bergolek manja dikedua pahaku, kecupan dikening sebelum pamit pulang setelah puas bermesra seharian denganku.

Aku mungkin tidak sesuci malaikat ataupun semulia dan seagung Tuhan untuk mengetahui isi hatimu sekedar ingin tahu  adakah terselip sedikit rindu dihembusan nafasmu.
Yang aku tahu adalah saat aku duduk bersila dihadapan Tuhan setelah selesai menunaikan beberapa rakaat perintah dari-Nya aku selalu menyelipkan namamu untuk selalu dijaga oleh-Nya, oleh pelindung terbaik sepanjang masa. Agar hatimu ditabahkan fisikmu disehatkan kehidupanmu dilancarkan dan fikiranmu  ditenangkan agar tak khawatir karena aku juga selalu dijaga oleh-Nya.

Tahun sudah berganti, hari dan bulan juga seperti tak lelah untuk terus berjalan. Kita masih dalam perjuangan masing-masing, perjuangan untuk membuat anak cucu kita tidak akan merasakan bahwa hidup ini terlalu keras. Perjuangan menata masa depan yang bukan hanya sekedar baik tapi juga indah.
Untukku, kenangan dan kamulah yang seakan menjadi suplemen bahwa aku harus lebih baik dari hari ini. Semangat agar waktu cepat berlalu untuk berjumpa denganmu dan menceritakan hal-hal hebat yang sudah aku lalui selama ini.

Mungkin aku memang sempat termenung disetiap perpisahan kita, tapi setelah aku menangis dan berteriak seperti bocah kecil yang kehilangan mainannya aku akan tersenyum lagi bahkan senyum yang lebih merekah dari sebelumnya layaknya  pelangi setelah hujan dan badai karena aku selalu percaya cinta akan membawamu kembali padaku diwaktu yang tidak hanya tepat namun juga indah.
Tunggulah sebentar lagi Sayang.. Kumohon bertahan sedikit lagi.. untukku..