Copyright © Amelia Nur Amanah
Design by Nobel Nugraha
Rabu, 05 Februari 2014

Asalkan ada Dia

Aku duduk bersimpuh di balkon rumahku menikmati angin sore yang sudah bercampur polusi. Dengan sekaleng bir dan headset yang tak lepas dari telinga mendentumkan suara musik yang memecah keheningan.
Didaerah yang penuh kepura-puraan ini aku (harus) bertahan. Dimana meninggikan gengsi adalah caramu diterima oleh masyarakat. Menebar senyum palsu bagaikan seorang penjilat.
Tempat dimana barang gelap diperjualbelikan, pekerja industri yang mencari kesenangan dunia, wanita jalang dan lelaki hidung belang bermesra disetiap tempat maksiat, dan lelaki berpoles makeup mudah kau jumpai di simpang terdekat.

Menenggak bir mungkin adalah cara termudah agar aku cepat terlelap, agar dunia dan segala perbincangan orang tak terasa terlalu berat, agar bayangmu yang seperti slideshow tak terus berjalan di layar proyektor otak.
"Woy ngapain bengong disitu! " tetangga sekaligus teman sekelasku berteriak memanggilku dari balkon kamarnya yang terletak diseberang rumahku.
"Ah elu nyet ngagetin aja gua kira siapa, sini gabung daripada dikamar mulu" jawabku sekenanya.
"Oke!" katanya seraya berlari kecil turun dari rumahnya untuk menghampiriku.
Kudengar suara gerbang terbuka dan dia menaiki tangga yang memang terletak diluar rumah.
"Ngapain disini? Giliran yang enak gak ngajak-ngajak " gerutunya lalu menenggak carlsberg dingin disebelahku. Aku hanya cekikikan tanpa arti. Aku memang sering berbagi tangis dengannya, menumpahkan sakitku dibahunya, meneriakkan sumpahku pada mereka yang mencibir di telinganya, tetapi dia tak pernah merasa terganggu oleh kelakuanku yang seperti itu karena dia selalu siap menjadi tempat bersandar yang nyaman dan tangan halusnya itu selalu menyeka air mata dan menepuk pundakku.

Didaerah lahirnya gurindam 12 ini aku tidak menyangka bahwa akan mendapatkan sahabat seperti dia. Dia seperti tak lelah mendengar keluh kesahku, tentang seseorang disana yang sudah terlalu banyak menancapkan duri dijantungku, tentang sosok Ayah yang melayangkan pukulan dikepala hingga memar berkali-kali, tentang yang dulu seorang sahabat tiba-tiba menjadi seorang yang keparat.

Entahlah teman.. saat bersama dengannya selama apapun itu seakan terlewati hanya sekejap mata, terkadang aku hanya melewati mingguku dengan bersandar dipundaknya dan membisu tetapi seakan telah berbincang sangat lama dengannya.
Kedekatan kami tidak pantas disebut sebagai sahabat tetapi terlalu canggung untuk menyebutnya sebagai sepasang kekasih. Kami seperti nyaman dengan segala ketidak-jelasan ini. Ketidak-jelasan yang membuatnya menjadi indah, jadi candu jadi rindu...

Suatu malam hujan dengan dingin yang menusuk, suara angin beradu, dan petir yang mengkilat disetiap sisi langit ia dikamarku. Malam ini seperti biasa aku bersandar dipundaknya, suara gemuruh malam itu menambah erat pelukannya. Sambil menatap layar TV ditemani dua gelas coklat panas dan Ia disisiku semua terasa lengkap. Aku tak perlu merasa ketakutan walau diluar terjadi hujan dan badai sekalipun. Asalkan ada dia.
Dia mengelus rambutku yang tergerai sebahu dan mengecup keningku. Aku tersentak, kutatap matanya dalam-dalam. Dia juga membalas tatapanku dan tersenyum lirih. Entah apa artinya senyuman itu tetapi terhenti saat dia mengecup bibirku.
Aku memejamkan mata dengan bibir setengah menganga mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Dia menyebut namaku dan berkata "Mel, berjanjilah untuk tetap menjadi sahabat terbaikku."
Aku terdiam. Setelah ciuman pertama ku itu dia masih ingin kita (hanya)  bersahabat?
Aku hanya mengangguk pelan.

Tidak apa-apa. Asalkan ada dia.

0 komentar:

Posting Komentar