Copyright © Amelia Nur Amanah
Design by Nobel Nugraha
Selasa, 18 Maret 2014

Tentang Ime

Kamar mawar nomor 3b itu terletak disudut lorong. Hatiku benar-benar teriris ketika sampai disana. Kamar yang kumuh, penghuni rumah sakit yang ramai—mungkin kamar ini adalah kamar termurah yang mampu dibayar oleh keluarganya. Agar bidadari kecilnya bisa tetap merasakan sejuknya hidup walau dibalik kesakitan sekalipun.

Suasana semakin mencekam ketika ada seorang nenek tua dengan buku Yasin ditangannya  secara tiba-tiba masuk keruangan. Ia membaca doa yang tak kumengerti dan tak biasa kudengar bahkan di pengajian umat muhammadiyah. Salah seorang kerabat pun dengan heran berbicara "Baca doa apa sih ibu itu?" . Keheranan kami semakin menjadi ketika ia menyebut nama Shabina dan bukanlah Ime yang sedang terbaring sakit. Selepas membaca ia berjalan keluar. Menghampiri aku dan Ibu kandung dari Ime membuatnya semakin terisak.
"Bacain dua kalimat syahadat dikupingnya. Kalau terjadi kemungkinan terburuk, ikhlas aja ya" celoteh ibu itu seraya pergi meninggalkan kami.
"Banyak oceh!" rutuk Ibu tiri  dari Ime yang biasa dipanggil Bude dari dalam kamar.

Setelah semuanya tenang kulangkahkan kakiku bersama teman-temanku. Entah kekuatan apa yang membawaku ke-rumah sakit keparat ini. Rumah sakit ini menjadi saksi betapa ibu dengan wajah cantiknya itu telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku benar-benar gemetar mengingat semua rasa sakit itu.
Tidak hanya itu saja. Melihat kondisi Ime yang hampir tidak ada harapan makin membuat hatiku hancur, dadaku sesak, sesal yang aku rasa mungkin takkan membuat waktu terulang kembali ketika ia masih sehat. Mungkin bukan hanya aku, siapapun didunia ini jika melihat ia  yang bisa disebut tulang berbalut kulit, bocah ini tidak ada harapan lagi.
Setelah berpuluh kali chemoteraphy yang dia lakukan tak kunjung membuatnya pulih. Normalnya seseorang selepas chemoteraphy adalah rambut yang rontok dan fisik yang menguat. Namun tidak dengan gadis kecil ini, rambut ikal nya tetap utuh namun tidak dengan organ dalamnya. Semuanya perlahan merusak dan membuatnya kurus tak berdaya.
Penyakit ini telah menutup saluran nafasnya, membuat langit-langit mulutnya membengkak dan terpaksa dia memasukkan jari telunjuk untuk tetap bernafas. Mungkin hanya dia dan Tuhan lah yang tahu bagaimana caranya ia bernafas dan bertahan selama ini.

Aku tak bisa berkata apa-apa didepannya. Hanya tangis dan tangis yang mampu menjelaskan semua yang kurasakan. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar, menemui Ibu kandung Ime sekaligus ingin menanyakan bagaimana Ia bisa jadi seperti ini.
Masih dengan tangis yang tertahan ia menceritakan semuanya. Matanya yang sembab  tak mampu menutupi kepedihan hatinya sebagai seorang ibu melihat anak gadisnya  menderita seperti itu.
Penderitaan itu bermulai ketika sebuah gondok yang cukup besar bersarang dilehernya. Nenek Ime yang seorang keturunan jawa tentunya mengobati dengan cara tradisional seperti mengoleskan blau ke leher Ime. Tetapi benjolan besar itu tak kunjung mengempis. Akhirnya Ime dibawa kerumah sakit dan dengan beberapa pemeriksaan dokter berkata bahwa itu adalah kelenjar getah bening. Mendengar perkataan dokter itu "Bude" sontak membawa nya ke dukun untuk mengeluarkan cairan itu. Namun semua itu tetap tak membuahkan hasil. Akhirnya Ime pun dirujuk kerumah sakit kembali. Setelah rangkaian pemeriksaan canggih dan berbagai rontgen dan analisis dokter akhirnya Ime divonis terkena kanker nasofaring;kanker yang terletak dirongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.
Penyakit inilah yang membuat Ime terbaring dirumah sakit berbulan-bulan hingga sekarang. Menggerogoti habis tubuhnya, dan membuatnya hampir tak bisa bernafas serta  tak bisa bicara.

Bahkan dengan tubuh seperti itu, ia masih terlihat ceria dan sangat imut bagiku.
Kuat lah sedikit lagi adikku sayang.. Aku yakin apa yang kau rasakan, akan mendapat imbalan yang indah dari Tuhan dan Dia telah mempersiapkan rencana yang terbaik untukmu. Untuk membalas rasa sakitmu, untuk membayar segala tangis dan pedih dalam hatimu. Karena berkata "Semoga cepat sembuh" adalah hal yang paling menyakitkan bagiku.

Kamis, 13 Maret 2014

Lelaki Cafe

Cafe pukul delapan malam hari ini cukup ramai. Dengan secangkir jus alpukat kesukaanku dan juga minuman pendukung program penambahan berat badanku. Tak lupa  sepiring panekuk stroberi
menemaniku.
Aku masih menatap layar laptop. Merangkai kata demi kata, menuliskan paragraf omong kosong, dan segala diksi yang bahkan tak sebenarnya terjadi dalam hidupku.
Aku sengaja memilih meja nomor 12—nomor kesukaanku. Meja ini selalu menjadi tempat favoritku karena letaknya yang dekat dengan jendela dan jauh dari kasir tempat orang berlalu-lalang. Jendela besar yang diterangi lampu temaram dari luar cafe. Dimeja ini aku bisa dengan bebas menikmati bulan terpampang dengan jelasnya. Dan juga bintang tentunya.

Setenggak demi setenggak jus kunikmati dengan jemari yang masih berkutat mengumpulkan inspirasi.
Seorang lelaki dengan setumpuk buku dan laptop yang masih menyala menghampiriku. Seorang lelaki dengan celana chino berwarna coklat memakai boots dengan warna yang sama pula. Hidung bangir dan jakun yang menonjol.
Aku memang merasa sudah diperhatikan olehnya daritadi. Namun aku tidak ingin terlalu menanggapi.

"Hai gua boleh gabung?" Ia menyapa dengan senyum penuh arti. Dan terlihat kerepotan membawa barang-barangnya.

"Hmm boleh kok.." aku membalas senyumnya dan dengan sigap membantu menaruh bukunya di meja.

"Gua Ryan.." katanya sambil mengulurkan tangan.

"Oh.. Gue Clarissa"  jawabku membalas uluran tangannya.

"Sebenernya gue udah merhatiin lu daritadi" basa-basinya sedikit canggung.

"Gue udah tau kok..ha-ha-ha" kami tertawa renyah.

Sejak saat itu aku dan Ryan menjadi sangat akrab. Tak perlu waktu lama untuk kami saling mengenal, saling bertukar nomor ponsel, dan juga bertukar cerita tentunya.
Kebiasaanku setiap jumat malam di cafe menjadi schedul baru untuknya. Kami akan selalu ada ditempat itu bersamaan dengan buku yang selalu berbeda judul tiap minggunya. Dan juga laptop berisi deadline yang membuat kisruh isi kepala. Dan kekonyolannya yang selalu berhasil membuatku tertawa.

Belakangan kuketahui bahwa Ryan adalah mahasiswa UI jurusan ekonomi dan juga seorang aktor drama yang sering pentas dimana-mana. Sedangkan aku hanya mahasiswa biasa jurusan sastra.

"Elo gak takut deket sama anak drama?" katanya penasaran.

"Hah? Takut kenapa? " tanyaku heran.

"Ya anak drama kan tukang akting dan pinter bohong" katanya menjelaskan.

"Sekarang gua tanya deh, apa lo gak takut deket sama anak sastra?"

"Loh kok lo ngomong gitu?"

"Iyalah. Anak sastra kan pinter ngarang cerita dan ngerangkai kata-kata. Lalu apa bedanya lo sama gua?" tukasku.

Dia tertawa keras hingga jakunnya yang besar itu terlihat naik turun dibalik lehernya. Aku hanya tersenyum lirih dan menggelengkan kepala.
Didalam hati aku berkata: "Aku tidak pernah takut dibohongi atau dikhianati, Ryan. Karena dia yang sungguh menyayangiku akan selalu jujur."

Selasa, 11 Maret 2014

Selamat datang (kembali) cinta pertama!

"Aji jangan ganggu!" suaraku merengek manja.
Disalah satu sudut kelas sekolah dasar, teman sebangku-ku; Aji. Ia tak pernah bosan mengganggu. Mungkin mengerjai orang adalah hal yang wajib dilakukan setidaknya sekali dalam sehari.
"Aji jangan ganggu!" pekikan-ku lebih keras lagi. Ia masih sibuk mengerjai aku yang sedang menulis  dan ber-haha-hihi dengan riangnya.
"Aji! Kalo lo masih ganggu gua cium lo!" aku mengancam. Oke, mungkin ancaman ini  terlalu vulgar untuk seorang gadis kecil yang belum genap berumur enam tahun.
Dia tetap tertawa dengan suara khas-nya. Aku mengulang ancamanku. Dan akhirnya kecupanku mendarat di salah satu pipinya. Ia terdiam mematung. Seisi kelas menertawakan dan meledek bersamaan.
Aku bodoh.

                            ***

20 Februari 2014.
Seseorang mengirim pesan di-facebook-ku. Aji Saka Putra. Pesan yang kubalas sekenanya dan dia berbicara seperlunya. Dia meminta nomor telefon-ku. Aku fikir selalu ada dia dalam perjalananku itu adalah musibah yang besar. Ternyata tidak juga, teman. Dia selalu memberikan warna yang berbeda dalam kanvas-ku.
Tapi satu hal yang tak pernah bisa kujelaskan tentang dirinya hanyalah satu; perasaannya.
Dia selalu sulit ditebak. Satu malam dia bisa memanjakan aku dengan kata-kata. Namun lusa bisa saja ia tak terdengar kabarnya.
Setelah perhatian yang Ia berikan akhir-akhir ini dan kata rindu yang kami ucap tanpa henti. Ia masih membuatku selalu merasa bingung.
Pernah suatu sore kami berdebat dan ku bilang kita memang selalu berbeda pendapat. Dia dengan enteng menjawab "Jadi gak akan pernah nyatu ya?" . Aku diam. Aku menangis dalam diam.

                     ***

"Eh kok lo sekarang dipanggil aji sih?"
"Iyalah gua dari smp emang dipanggil Aji, cuma sd aja gua dipanggil Saka" Ia terbahak.
"Cuma lo doang yang manggil gua Saka" sambungnya.
"Lo berubah ya" keluhku.
"Iya gua sekarang udah banyak berubah,kan?" tekannya.
"Tapi bagi gua lo itu tetep Saka, Saka gua yang dulu!" bentakku. Ia diam.

Dia memang banyak berubah. Dia yang sekarang bukanlah yang kukenal dulu. Dulu ia adalah seorang yang tertutup hampir tak terbaca apa yang ia fikirkan dan apa yang ia mau.
Sekarang ia adalah seorang atlet silat yang mengoleksi piala dan medali, lelaki yang mulai menunjukan jati diri. Termasuk kepada wanita. Kepada aku, tentunya.
Dia lah yang mengisi kekosongan ku akhir-akhir ini. Dia juga tempatku mengubah tangis jadi tawa, tawa menjadi lebih bahagia. Dia tak pernah lupa bagaimana cara menyenangkan ku.
Mungkin dia lah lelaki yang selalu datang tanpa diminta dan tanpa kuberi kode terlebih dahulu. Dia selalu seperti itu. Entah ini kesukaannya atau rencana-Nya.
Entahlah. 

Kedatanganmu yang kesekian kali ini kumohon jangan untuk sementara.
Seperti waktu-waktu sebelumnya.
Selamat datang (kembali) cinta pertama.

Minggu, 09 Maret 2014

Dan entah kamu sebut ini apa.

Kepada pemilik senyum terluar-biasa.

Hari ini aku menutup mata dan kemudian berpikir.

Mungkin diri ini takkan sanggup lagi untuk tidak mengingatmu.

Semua tentang kamu tersimpan rapih di dalam benak.

Kamu menganggap ini puisi cinta?
Bukan, ini bukan tentang cinta.

Bahkan jauh sebelum mengenal kamu,
aku tak mengerti apa itu cinta, apa itu setia dan apa itu bahagia.

Tapi ini tentang semua hal yang kusadari nyata didepan mata.

Bergantian dari merapuhkan hingga mengkokohkan jiwa.

Seperti bola-bola tasbih yang bergantian disentuh dalam lafaz.

Seperti kincir yang berputar ditiup angin.

Seperti itulah aku memaknaimu.

Elokku, terimalah kenyataan.

Biarkan aku membahagiakanmu semampuku.

Sisanya biarlah semesta yang menghapus sisa-sisa kesedihanmu.

Maka sayangku, janganlah kamu menjauh ketika aku sibuk mendekat.

Karena aku akan berada di sisimu, hingga aku lumpuh,
Dihajar oleh jarak,
Dan waktu.

By: Cagas Satria

Sabtu, 01 Maret 2014

Teruntuk "Bintangku"

Malam dunia..masihkah setia dengan gelapmu? Seperti aku yang juga setia pada bintangku?
                       ***
Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Terlalu letih dengan pekerjaanku sendiri. Hingga tak sempat menulis cerita singkat yang (biasanya) berasal dari hati.

Sore ini aku terbangun dari tidurku. Memandang sejenak kelangit-langit kamar sambil mengumpulkan tenaga untuk beranjak agar kepala tak terasa berat. Melangkah gontai ke arah dapur untuk menengguk segelas air  dan kembali ke pembaringan. Kulirik jam dinding yang terus berdetak seperti jantungku ini yang tak lelah berhenti hingga akhirnya nanti.
"Ah..aku masih terlalu penat!" gumamku dalam hati.
Ku-cek Handphone yang sedang di-charge. Tidak ada pesan darimu maupun tanda-tanda kau merindukanku.
Entah ini detik yang keberapa sejak saat pertama aku mulai mencintaimu dan sudah berapa banyak rasaku padamu. Cinta bukanlah sesuatu yang dapat dikalkulasikan kan, Tuan?

Rindu yang tak lagi dapat terbendung, rasa dan asa yang juga tak habis dimakan waktu.
Masihkah kusebut ini bukan sebuah ketulusan?
Kamu terlalu sulit kugapai, terlalu fana kugenggam, terlalu tidak nyata kurasakan. Namun aku bisa dengan mudah memberi percaya. Aku sudah terlalu banyak berkorban hingga tak bisa lagi membedakan mana ketulusan dan mana kebodohan.

Jika benar cinta itu memang kebodohan lalu mengapa kebodohan itu sangat membahagiakan? Orang bilang jatuh cinta itu indah, tetapi tak tahukah kau bahwa yang namanya jatuh tetaplah jatuh Ia akan menimbulkan rasa sakit. Tetapi tak tahu juga-kah kau bahwa jatuh tak selamanya sakit. Kau hanya harus jatuh ditempat yang tepat—kasur misalnya. Tidak, Tuan. Aku tidak sedang bergurau. Itu mengartikan bahwa kita hanya harus jatuh cinta pada orang yang dapat membuat kita nyaman, tempat kita ingin bersandar lebih lama, dan tempat satu-satunya kita ingin mengabiskan malam.
Dan kepada orang yang mampu membuat kita ingin mencoba lagi walau sudah gagal beberapa kali, kepada yang membuat kita tersenyum walau tahu sudah membuat tangis kesekian kali.

Orang bilang "Buat apa pacaran kalau jodoh Tuhan yang menentukan?"
Bukankah pacaran itu adalah usaha? Dan bukankah Tuhan bilang  jika kita ingin mendapatkan sesuatu kita harus berusaha dan berdoa? Kita hanya perlu terus berusaha Tuan, lalu serahkan semuanya pada Tuhan.
Aku terlalu lelah berdiri diatas kedua kaki-ku. Aku ingin sesekali ada yang menopangku ketika aku jatuh, ingin sesekali menumpahkan tangis dibahu, walau kutahu sosokmu terlalu semu untuk melakukan semua itu.

Teruntuk  "bintangku"  berjanjilah padaku bahwa kau akan hidup lebih baik dari ini. Belajarlah dari pengalamanmu sendiri dan jangan gagal lagi. Beribadah lebih rajin lagi.
I (always) love you.