Kamar mawar nomor 3b itu terletak disudut lorong. Hatiku benar-benar teriris ketika sampai disana. Kamar yang kumuh, penghuni rumah sakit yang ramai—mungkin kamar ini adalah kamar termurah yang mampu dibayar oleh keluarganya. Agar bidadari kecilnya bisa tetap merasakan sejuknya hidup walau dibalik kesakitan sekalipun.
Suasana semakin mencekam ketika ada seorang nenek tua dengan buku Yasin ditangannya secara tiba-tiba masuk keruangan. Ia membaca doa yang tak kumengerti dan tak biasa kudengar bahkan di pengajian umat muhammadiyah. Salah seorang kerabat pun dengan heran berbicara "Baca doa apa sih ibu itu?" . Keheranan kami semakin menjadi ketika ia menyebut nama Shabina dan bukanlah Ime yang sedang terbaring sakit. Selepas membaca ia berjalan keluar. Menghampiri aku dan Ibu kandung dari Ime membuatnya semakin terisak.
"Bacain dua kalimat syahadat dikupingnya. Kalau terjadi kemungkinan terburuk, ikhlas aja ya" celoteh ibu itu seraya pergi meninggalkan kami.
"Banyak oceh!" rutuk Ibu tiri dari Ime yang biasa dipanggil Bude dari dalam kamar.
Setelah semuanya tenang kulangkahkan kakiku bersama teman-temanku. Entah kekuatan apa yang membawaku ke-rumah sakit keparat ini. Rumah sakit ini menjadi saksi betapa ibu dengan wajah cantiknya itu telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku benar-benar gemetar mengingat semua rasa sakit itu.
Tidak hanya itu saja. Melihat kondisi Ime yang hampir tidak ada harapan makin membuat hatiku hancur, dadaku sesak, sesal yang aku rasa mungkin takkan membuat waktu terulang kembali ketika ia masih sehat. Mungkin bukan hanya aku, siapapun didunia ini jika melihat ia yang bisa disebut tulang berbalut kulit, bocah ini tidak ada harapan lagi.
Setelah berpuluh kali chemoteraphy yang dia lakukan tak kunjung membuatnya pulih. Normalnya seseorang selepas chemoteraphy adalah rambut yang rontok dan fisik yang menguat. Namun tidak dengan gadis kecil ini, rambut ikal nya tetap utuh namun tidak dengan organ dalamnya. Semuanya perlahan merusak dan membuatnya kurus tak berdaya.
Penyakit ini telah menutup saluran nafasnya, membuat langit-langit mulutnya membengkak dan terpaksa dia memasukkan jari telunjuk untuk tetap bernafas. Mungkin hanya dia dan Tuhan lah yang tahu bagaimana caranya ia bernafas dan bertahan selama ini.
Aku tak bisa berkata apa-apa didepannya. Hanya tangis dan tangis yang mampu menjelaskan semua yang kurasakan. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar, menemui Ibu kandung Ime sekaligus ingin menanyakan bagaimana Ia bisa jadi seperti ini.
Masih dengan tangis yang tertahan ia menceritakan semuanya. Matanya yang sembab tak mampu menutupi kepedihan hatinya sebagai seorang ibu melihat anak gadisnya menderita seperti itu.
Penderitaan itu bermulai ketika sebuah gondok yang cukup besar bersarang dilehernya. Nenek Ime yang seorang keturunan jawa tentunya mengobati dengan cara tradisional seperti mengoleskan blau ke leher Ime. Tetapi benjolan besar itu tak kunjung mengempis. Akhirnya Ime dibawa kerumah sakit dan dengan beberapa pemeriksaan dokter berkata bahwa itu adalah kelenjar getah bening. Mendengar perkataan dokter itu "Bude" sontak membawa nya ke dukun untuk mengeluarkan cairan itu. Namun semua itu tetap tak membuahkan hasil. Akhirnya Ime pun dirujuk kerumah sakit kembali. Setelah rangkaian pemeriksaan canggih dan berbagai rontgen dan analisis dokter akhirnya Ime divonis terkena kanker nasofaring;kanker yang terletak dirongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.
Penyakit inilah yang membuat Ime terbaring dirumah sakit berbulan-bulan hingga sekarang. Menggerogoti habis tubuhnya, dan membuatnya hampir tak bisa bernafas serta tak bisa bicara.
Bahkan dengan tubuh seperti itu, ia masih terlihat ceria dan sangat imut bagiku.
Kuat lah sedikit lagi adikku sayang.. Aku yakin apa yang kau rasakan, akan mendapat imbalan yang indah dari Tuhan dan Dia telah mempersiapkan rencana yang terbaik untukmu. Untuk membalas rasa sakitmu, untuk membayar segala tangis dan pedih dalam hatimu. Karena berkata "Semoga cepat sembuh" adalah hal yang paling menyakitkan bagiku.
0 komentar:
Posting Komentar