Copyright © Amelia Nur Amanah
Design by Nobel Nugraha
Kamis, 13 November 2014

Throwback

Malam itu kau duduk dengan gelisah pikiranmu buncah ke segala arah. aku yang tenang berharap sedikit pandang darimu.
dering handphone pun seperti tak mengerti akan dua insan ini.
kecupanku memecah sunyi.
kamu memandang lirih.
Ah.. jangan kau pikirkan perasaanku disini, sayang.
aku hanya penenang untuk tiap masalah yang semakin hari nampak semakin jalang.
langkahmu yang kadang tak tentu arah.
masa lalumu bersarang enggan berpindah.
kita terlalu banyak berjuang hanya untuk sebuah permulaan.
lelah? mungkin.
sakit? tentu saja.
tetapi aku tahu,
kesulitan inilah bumbu paling manis untuk sajian cinta kita.
yang kelak kan kita hidangkan pada anak cucu kita
dengan duduk bersila di beranda
dan kita berdua yang menertawakan dunia.

Batam, 30 Mei 2014

Kamis, 24 Juli 2014

Kamu, Kita, dan Semesta



"Sudah lelah?" bisikku.

"Belum, kita baru saja memulai." katamu dengan suara parau.


Kita berdua terdiam, bertingkah seakan tidak akan terjadi apa-apa. Meski kita berdua tahu sedang berada di bibir jurang, namun genggaman tetap tak ingin lepas. Mencoba melewati walau tahu mungkin perasaan yang menjadi korbannya.

"Kamu masih bisa memilih." 

"Pilihan apa?" dia menatap mataku lekat-lekat. 

"Pilihan untuk bertahan atau kamu cari kebahagiaan lain." 

"Yang mungkin menunggumu diluar sana." sambungku. 

Dia mengalihkan pandangannya dan menghela nafas panjang.
 
"Aku sudah berdarah-darah dari awal untuk ngedapetin kamu, jadi ayo kita selesaikan ini. Aku akan ngelakuin yang terbaik, dan aku percaya kamu pun begitu." sorot matanya membuat degupku makin liar, gumpalan mendung di mataku mulai deras, membasahi pipiku yang merah malam itu. 

Hatiku ngilu seketika, melihat ia yang percaya kita akan baik-baik saja namun aku malah pasrah pada keadaan— pada ribuan mil jarak yang akan menampung rindu, pada kepercayaan yang kita rajut, atau pada prasangka yang akan kita bunuh.


Selemah itukah aku?
Kurebahkan tubuhku di dadanya, menghirup harum tubuhnya dalam-dalam, lalu dipeluknya aku hingga terlelap.
Semesta, kumohon kekalkan waktu seperti ini saja.
Selasa, 17 Juni 2014

Memilikimu Setidaknya

Hari ini akan menjadi hari paling bersejarah bagi Apek, karena ia akan menyatakan cinta pada sahabat sejak ia masih menjadi embrio; Amoy. Apek berdiri menatap kaca sambil sesekali mengoleskan minyak jelantah ke rambutnya. Setelah sekian lama, akhirnya keberanian itu muncul juga. Dengan tergesa-gesa Apek mengambil kunci motor vespa-nya yang tergeletak di atas meja dan berjalan keluar rumah.

Sesampainya di taman, Apek menghampiri Amoy yang tengah duduk di sebuah kursi. Wanita dengan lesung pipit itu mengumbar senyum menyambut kedatangan Apek, giginya yang jarang di tengah bak jalan tol membuat Apek hampir mimisan karena terpesona. 

Iya begitulah cinta. 

"Udah lama nunggu ya?" kata Apek seraya duduk di sebelah wanitanya itu. 
"Hmm lumayan." 
"Oh sorry, tadi aku nyebokin adekku sebelum datang kesini." kata Apek dengan perasaan grogi. 
"Enggak apa-apa kok, aku juga nungguin kamu sambil gigit rumput biar gak bosen." jawab Amoy penuh senyum. Rambut gimbalnya yang terurai indah tertiup angin membuat Apek semakin tak berdaya. 
"Moy, aku mau ngomong sesuatu." 
kata Apek menatap Amoy dalam-dalam. 
"Ngomong apaan?" 
"Aku selama ini suka sama kamu." jawab Apek dengan nada ragu-ragu. 
"Kenapa kamu suka sama aku? Bukannya selama ini kita berteman?" Amoy mengernyitkan alisnya.
"Aku udah suka  sama kamu dari pertama kali ngeliat kamu jemurin baju di belakang rumahmu." jawab Apek polos. 
"Hmm terus?"
"Terus setelah tahu kita ternyata satu sekolah, aku jadi lebih suka dan berani untuk ngedeketin kamu. Yaa walaupun hanya sebatas teman gak apa-apa. Aku senang selama ini dekat sama kamu."
"Aku senang kamu berani untuk ngungkapin perasaan kamu ke aku Pek, tapi aku selama ini gak pernah nganggep kamu lebih. Toh di hatiku juga sudah ada orang lain." 
"Siapa, Moy?" tanya Apek menahan letupan di dadanya. 
"Dia Angga, temen sekolah kita yang sering juara karena suka bikin karya seni dari permen karet bekas itu lho." 
"Dulu mungkin aku punya perasaan yang sama seperti kamu, tapi aku gak melihat tanda-tandanya atau memang mungkin aku yang gak peka. Tapi dia lebih berani ngungkapin perasaannya jauh sebelum kamu Pek."
Apek terpaku. Iya. Dalam hal ini memang tidak ada yang bisa disalahkan, semuanya hanya perihal waktu.

Amoy berdiri, melangkah menjauhi Apek meninggalkan taman lalu lama-lama menghilang. Apek sedang berusaha menata perasaannya saat ini. Hari sudah semakin senja, matahari hendak bertugas di belahan bumi lainnya. Apek yang masih terduduk di bangku taman akhirnya memutuskan untuk pulang. Membawa luka dan cinta.
Rabu, 04 Juni 2014

Belajar Melepaskan

Jadi postingan gue kali ini agak jauh berbeda dari biasanya. Kalo biasanya gue nge-post cerpen atau puisi yang galau abis, sekarang gue mau berbagi cerita dari pengalaman gue dan orang-orang yang gue kenal. :))

Banyak orang (kadang) sulit melepaskan, hanya karena merasa gak akan menemukan yang seperti dia lagi walaupun udah sering disakiti. Atau bahkan terjebak sama hubungan yang udah bertahun-tahun dan enggan memulai dengan yang baru.

Berikut beberapa alasan yang bikin orang sulit melepaskan menurut gue:

1. Takut

Jadi gue punya temen, sebut saja namanya Apek (cowok) dan Amoy (cewek). Mereka berdua ini udah pacaran kurang lebih setahun. Dan suatu waktu mereka udah beda sekolah alias udah lulus dan ngelanjutin ke jenjang selanjutnya. Mereka mulai sering berantem dan kata putus udah jadi makanan sehari-hari. Tapi, dengan alasan masih sayang juga si Amoy ini nerima ajakan balikan si Apek. Gue sebagai pendengar yang baik dan temen si Amoy ya kasih masukan yang baik buat hubungan mereka. Tapi balik lagi yah seperti kata tokoh wayang: "Pekerjaan paling sia-sia di muka bumi ini adalah memberi nasehat kepada orang jatuh cinta."
Kenapa sia-sia? Ya karena itu tadi contohnya, nasehat apapun yang gue berikan ke Amoy selalu didengerin, tapi gak pernah dilakuin. Hubungan mereka terus berlanjut dengan tanpa sadar mereka sudah nyakitin satu sama lain, bahkan menyakiti diri mereka sendiri. Sampai suatu saat si Apek memutuskan untuk meninggalkan Amoy dan kali ini yang terakhir, Apek gak memberi kesempatan untuk bersama kembali dan disitu gue sebagai temen cuma bisa denger si Amoy nangis sesenggukan sambil ngunyah tisu. Dia bilang akan sulit nemuin sosok yang sama seperti Apek lagi, nemuin kenyamanan seperti sebelumnya. See? Pada dasarnya orang sulit melepaskan hanya karena sebuah ketakutan. Padahal sebaliknya: "If you're brave enough to say goodbye, Life will reward you with a new hello." :))

2. Sudah Memberi Segalanya

Ini biasanya terjadi sama cewek. Di zaman modern kayak gini emang gak sedikit yang terjerumus sama pergaulan bebas. Dan bahkan cowok-cowok di luar sana bakal minta bukti sayang kepada ceweknya itu dengan cara (maaf) berhubungan sex. Gue juga punya temen waktu SMP dulu kasusnya kayak gini. Jadi si Amoy ini sampe tahan memar-memar diseluruh badan karena digebukin sama pacarnya, tapi tetap dia gakmau ninggalin pacarnya ini. Gue sebagai temen ngerasa curiga karena kalo gue yang ada di posisi dia bakal langsung gue putusin tuh cowok tanpa basa-basi. Dan ternyata memang benar, si Amoy udah nyerahin kehormatannya sama cowok itu. Si cowok ini pun setiap berantem selalu ngancem bakal nyebarin berita kalo dia sudah gak perawan, dan gak akan ada cowok yang mau nerima dia kecuali si Apek. Si cewek jelas ketakutan, dan si cowok ngerasa menang.
Padahal kalo diamati lagi sih, banyak cowok yang tidak mempermasalahkan keperawanan itu. Tapi budaya timur lah yang membuatnya jadi nampak sulit. Dan untunglah sekarang temen gua itu sudah lepas dari masa lalunya malah sekarang sedang jatuh cinta. See? Bahagia itu pilihan. :))

3. Terlalu Lama Pacaran

Kalo menurut gue sih rasa cinta itu gak bisa diukur dengan waktu. Temen gue yang cuma pacaran kurang lebih 5 bulan tapi galaunya bisa sampe 2 tahunan. Sedangkan gue yang pacaran setahun bisa moveon dalam waktu 4 bulan aja. Saat lo memilih untuk tinggal mungkin lo akan bahagia namun bisa saja menyakiti dia. Namun saat lo memilih pergi demi kebahagiaan dia, Tuhan akan mengirimkan yang 100 kali lebih baik dari dia. Percaya deh.

Semua orang punya hak untuk bahagia. Pacaran memang bikin bahagia tapi jalan satu-satunya untuk bahagia bukan hanya dengan pacaran. Cara termudah untuk bahagia cuma satu; bersyukur. Bersyukur atas kekurangan kamu, kelebihan kamu dan kesendirian kamu. Mungkin saat ini kamu sendiri, agar kamu belajar mencintai diri kamu sendiri dan agar menjadi lebih baik. Ingat janji Tuhan : "Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Laki-laki pezinah hanya untuk wanita yang pezinah."
Jadi perbaikilah dirimu agar datang yang baik-baik saja kepadamu.

"Be happy. Do your own thing. Don't judge people. Someone who true loved you will come. And stay."
- Will Smith

Jadi, masih takut untuk melepaskan? :))

Senin, 05 Mei 2014

Say something


Cerita ini terinspirasi oleh lagu "Say something - A Great Big World ft Christina Aguilera."





“Say something I’m giving up on you,
I’ll be the one if you want me to..”

Pagi itu wajahmu mendung, sunyi berlari-lari di kepalamu. Aku bisa membaca semua itu dibalik cekung matamu. Mata yang dulunya indah bersinar dan juga senyum sumringah bak kelopak bunga yang mekar. Kamu tak mampu kusapa lagi. Katakan sesuatu .. bagaimana aku bisa menjadi yang pertama seperti dulu?

“Anywhere I would’ve followed you,
Say something I’m giving up on you..”

Malam ini seperti biasa, kamu berjalan gontai kearah kamar. Langkahmu tak tentu, matamu sayu, pikiranmu terbelenggu. Aku mencoba membantumu tapi.. “BRUGG!!” kamu mendorongku. Lagi dan lagi. Andai Tuhan mengizinkan untuk menukar nyawa dengan suara sekali saja. Aku ingin bilang hentikan semuanya, Nak. Kemanapun aku akan mengikutimu, katakan sesuatu.. bahwa kau menyerah padaku.

“And I’m feeling so small, it was over my head,
I know nothing at all..”

Aku pulang kerumah. Ruang  tamu yang berserakan disetiap sisinya. Sampah makanan ringan, berpuluh botol miras, dan jarum suntik yang hampir saja terinjak olehku. Aku masuk keruang tengah yang dibatasi oleh gorden lusuh, terdengar samar-samar senda gurau lelaki di kamarmu. Sudah kuperingatkan berulang kali kalau aku tak suka kamu membawa hidung belang itu lagi ke rumah ini. Aku menerobos masuk ke kamarmu tanpa mengetuk. Aku marah tetapi tak terucap. Kutarik lelaki itu dan aku menamparmu. Namun kamu mendorongku. Lagi dan lagi. Dan aku merasa begitu kecil, kamu jauh dari jangkauanku, aku tak bisa berbuat apa-apa.


“And I will stumble and fall, I’m still learning to love,
Just starting to crawl..”

Kubuatkan capcai kesukaanmu, meskipun tidak ada ayam dan bakso didalamnya, namun sawi dan wortel sudah mewah bagi kita berdua. Setidaknya bagiku. Karena kamu selalu mencibir mengapa hanya ada ubi dan selalu saja ubi di meja makan. Dulu sewaktu kamu kecil, aku berharap kamu menjadi terangku dan tak akan pernah meninggalkanku seperti ayahmu. Hanya karena aku bisu. Namun sayang, harapan ya hanya harapan. Kamu yang sekarang tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik, mata dan hidungmu indah seperti milik ayahmu. Kamu yang sekarang memilih mencumbu lelaki untuk mendapat bahagiamu. Maafkan aku.. Aku akan tersandung dan terjatuh, aku masih belajar bagaimana dicintai olehmu.

“And I will swallow my pride, you’re the one that I love,
And I’m saying goodbye..”

Aku mengais tong sampah yang satu ke tong sampah lainnya. Berburu plastik atau apa saja yang bisa menghasilkan uang. Setidaknya untuk mengisi perut kosong kita malam ini. Dua karung barang bekas hari ini sangat melegakan bagiku, aku bisa membawakanmu nasi bungkus meskipun hanya lauk telur untuk ditampung perut kecilmu. Aku bergegas pulang, membawa rasa penat yang hampir tak terasa karena terbiasa. Baju oblong polos, dan celana motif bunga dan tambal dimana-mana tak kuperdulikan. Yang aku pikirkan sekarang hanya kamu. Karena hari ini adalah ulangtahun-mu. Rumah dengan atap seng dan dinding bata adalah istana kecil kita, tempat tidur tikar yang selalu menenangkan walau dingin kadang menusuk. Tetapi dingin sikapmu lebih dalam sampai ke relung. Kubuka perlahan pintu yang tak terkunci itu, menelusuri ruang tamu dan kamarmu yang ada di sebelah kiri dapur. Aku melihatmu dikamar, meringkuk, sembab dikedua matamu, jemarimu bergetar memegang benda tipis berwarna putih dengan dua garis merah. Aku mencoba menenangkanmu namun kau memaki, kau tepis tanganku saat akan menyeka air matamu. Mendung menggelayut namun hujan lebih dulu sampai di kedua matamu. Mataku juga tentunya. Kutinggalkan kamu sejenak, berharap kamu menyadari apa yang telah kamu lakukan dan berubah sebagaimana mestinya. Angin pukul dua puluh dua menyapa, aku kembali kerumah. Ku ketuk pintu kamarmu beberapa kali tetapi tak ada sahutan.   Kuputar gagang pintu kayu tua itu dan mendapatimu berdarah-darah disudut kamar. Jantungku serasa ingin keluar, darahku mengalir cepat, mataku terbelalak. Kutelanjangi seisi kamar, dan melihatmu menggenggam sepucuk surat.

“Bu, maafkan aku ..
Maafkan anakmu ini yang lebih memilih jalan pintas untuk menghidupkan apa yang mereka sebut bahagia.
Maafkan anakmu ini yang lebih memilih anggur untuk menghilangkan apa yang mereka sebut derita. Meskipun hanya terlupa untuk sementara.
Maafkan anakmu ini yang lebih memilih hingar bingar dunia malam untuk mengusir sepi yang berpesta di kepala.
Jika kamu membaca surat ini mungkin aku sudah terbang jauh ke neraka. Biar saja. Aku tak ingin menambah deritamu, Bu. Kamu yang tak mampu melawan ketika tetangga mencibir tentang pekerjaanku, tentang bisunya dirimu. Aku tak sanggup jika harus mendengar cemooh orang tentang anak ini yang tak ku ketahui siapa ayahnya. Biarkan aku mati bersama anak ini, bersama dosa ini, Bu.
Dan kan kubuang gengsiku, kaulah orang yang kucinta, dan kuucap selamat tinggal..
Ampuni aku, Bu..”


Kamis, 03 April 2014

Walaupun hanya melihat

Aku hampir mati rasa. Semua laki-laki berlalu lalang didepan mata. Mengantar asa dan beberapa tawa. Tetapi tidak ada yang pernah bisa sehebat anda. Kita dekat tanpa rencana, tanpa mengetahui bahwa satu tahun adalah waktu paling panjang untuk mengukir banyak canda dan melahirkan banyak luka. Dan satu tahun yang terlalu singkat untuk berjuang sampai disini saja, seperti detik ke lima puluh lima untuk mengucap kata pisah.

Kamu tahu Sayang? Disini tak banyak yang kulakukan. Selain membalas beberapa pesan dari pria  yang berulang kali mengucapkan kata cinta. Dan meladeni setiap canda. Mereka semua, atau beberapa  mungkin bisa memberiku kenyamanan. Mereka berjuang memberikan perhatian untuk setiap rasa yang bernama entah. Tetapi tidak ada yang seperti anda.

Aku bukan tidak pernah mencoba untuk melupa. Hanya saja anda terlalu banyak mencipta rasa. Membuatnya menjadi beranak pinak—melahirkan banyak rindu yang tak diketahui berapa jumlahnya.
Dan entah kenapa setiap luka yang kamu buat selalu mengering dengan lekasnya. Mungkin cinta ini terlalu besar hingga bisa menutupi semua duka. Duka yang aku buat, kecewa yang kamu rasa. Kamu tak akan pernah tahu betapa sakitnya. Melihat seseorang yang kita cinta berlalu pergi dengan membawa segenggam amarah dikepalanya, setumpuk kecewa dihatinya, dan mungkin berliter air mata yang tak ia tunjukkan. Pernah terfikir bagiku, untuk memperbaiki segala kesalahan dan memohon kesempatan yang kesekian. Namun tidak Sayang. Aku sudah terlalu banyak memperhatikan. Kamu yang ceria kutemukan saat kamu bersama wanita lainnya. Bukan padaku. Sakit memang. Namun bukankah cinta tulus itu tidak mengharapkan balasan? Iya. Aku lebih suka kamu bersama mereka. Kamu yang bisa menjadi dirimu sendiri. Kamu yang terlihat bahagia dengan senyum itu. Percayakah kamu? Aku bahagia melihat kamu bahagia. Walaupun hanya melihat.

Selasa, 18 Maret 2014

Tentang Ime

Kamar mawar nomor 3b itu terletak disudut lorong. Hatiku benar-benar teriris ketika sampai disana. Kamar yang kumuh, penghuni rumah sakit yang ramai—mungkin kamar ini adalah kamar termurah yang mampu dibayar oleh keluarganya. Agar bidadari kecilnya bisa tetap merasakan sejuknya hidup walau dibalik kesakitan sekalipun.

Suasana semakin mencekam ketika ada seorang nenek tua dengan buku Yasin ditangannya  secara tiba-tiba masuk keruangan. Ia membaca doa yang tak kumengerti dan tak biasa kudengar bahkan di pengajian umat muhammadiyah. Salah seorang kerabat pun dengan heran berbicara "Baca doa apa sih ibu itu?" . Keheranan kami semakin menjadi ketika ia menyebut nama Shabina dan bukanlah Ime yang sedang terbaring sakit. Selepas membaca ia berjalan keluar. Menghampiri aku dan Ibu kandung dari Ime membuatnya semakin terisak.
"Bacain dua kalimat syahadat dikupingnya. Kalau terjadi kemungkinan terburuk, ikhlas aja ya" celoteh ibu itu seraya pergi meninggalkan kami.
"Banyak oceh!" rutuk Ibu tiri  dari Ime yang biasa dipanggil Bude dari dalam kamar.

Setelah semuanya tenang kulangkahkan kakiku bersama teman-temanku. Entah kekuatan apa yang membawaku ke-rumah sakit keparat ini. Rumah sakit ini menjadi saksi betapa ibu dengan wajah cantiknya itu telah meninggalkanku untuk selamanya. Aku benar-benar gemetar mengingat semua rasa sakit itu.
Tidak hanya itu saja. Melihat kondisi Ime yang hampir tidak ada harapan makin membuat hatiku hancur, dadaku sesak, sesal yang aku rasa mungkin takkan membuat waktu terulang kembali ketika ia masih sehat. Mungkin bukan hanya aku, siapapun didunia ini jika melihat ia  yang bisa disebut tulang berbalut kulit, bocah ini tidak ada harapan lagi.
Setelah berpuluh kali chemoteraphy yang dia lakukan tak kunjung membuatnya pulih. Normalnya seseorang selepas chemoteraphy adalah rambut yang rontok dan fisik yang menguat. Namun tidak dengan gadis kecil ini, rambut ikal nya tetap utuh namun tidak dengan organ dalamnya. Semuanya perlahan merusak dan membuatnya kurus tak berdaya.
Penyakit ini telah menutup saluran nafasnya, membuat langit-langit mulutnya membengkak dan terpaksa dia memasukkan jari telunjuk untuk tetap bernafas. Mungkin hanya dia dan Tuhan lah yang tahu bagaimana caranya ia bernafas dan bertahan selama ini.

Aku tak bisa berkata apa-apa didepannya. Hanya tangis dan tangis yang mampu menjelaskan semua yang kurasakan. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar, menemui Ibu kandung Ime sekaligus ingin menanyakan bagaimana Ia bisa jadi seperti ini.
Masih dengan tangis yang tertahan ia menceritakan semuanya. Matanya yang sembab  tak mampu menutupi kepedihan hatinya sebagai seorang ibu melihat anak gadisnya  menderita seperti itu.
Penderitaan itu bermulai ketika sebuah gondok yang cukup besar bersarang dilehernya. Nenek Ime yang seorang keturunan jawa tentunya mengobati dengan cara tradisional seperti mengoleskan blau ke leher Ime. Tetapi benjolan besar itu tak kunjung mengempis. Akhirnya Ime dibawa kerumah sakit dan dengan beberapa pemeriksaan dokter berkata bahwa itu adalah kelenjar getah bening. Mendengar perkataan dokter itu "Bude" sontak membawa nya ke dukun untuk mengeluarkan cairan itu. Namun semua itu tetap tak membuahkan hasil. Akhirnya Ime pun dirujuk kerumah sakit kembali. Setelah rangkaian pemeriksaan canggih dan berbagai rontgen dan analisis dokter akhirnya Ime divonis terkena kanker nasofaring;kanker yang terletak dirongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut.
Penyakit inilah yang membuat Ime terbaring dirumah sakit berbulan-bulan hingga sekarang. Menggerogoti habis tubuhnya, dan membuatnya hampir tak bisa bernafas serta  tak bisa bicara.

Bahkan dengan tubuh seperti itu, ia masih terlihat ceria dan sangat imut bagiku.
Kuat lah sedikit lagi adikku sayang.. Aku yakin apa yang kau rasakan, akan mendapat imbalan yang indah dari Tuhan dan Dia telah mempersiapkan rencana yang terbaik untukmu. Untuk membalas rasa sakitmu, untuk membayar segala tangis dan pedih dalam hatimu. Karena berkata "Semoga cepat sembuh" adalah hal yang paling menyakitkan bagiku.

Kamis, 13 Maret 2014

Lelaki Cafe

Cafe pukul delapan malam hari ini cukup ramai. Dengan secangkir jus alpukat kesukaanku dan juga minuman pendukung program penambahan berat badanku. Tak lupa  sepiring panekuk stroberi
menemaniku.
Aku masih menatap layar laptop. Merangkai kata demi kata, menuliskan paragraf omong kosong, dan segala diksi yang bahkan tak sebenarnya terjadi dalam hidupku.
Aku sengaja memilih meja nomor 12—nomor kesukaanku. Meja ini selalu menjadi tempat favoritku karena letaknya yang dekat dengan jendela dan jauh dari kasir tempat orang berlalu-lalang. Jendela besar yang diterangi lampu temaram dari luar cafe. Dimeja ini aku bisa dengan bebas menikmati bulan terpampang dengan jelasnya. Dan juga bintang tentunya.

Setenggak demi setenggak jus kunikmati dengan jemari yang masih berkutat mengumpulkan inspirasi.
Seorang lelaki dengan setumpuk buku dan laptop yang masih menyala menghampiriku. Seorang lelaki dengan celana chino berwarna coklat memakai boots dengan warna yang sama pula. Hidung bangir dan jakun yang menonjol.
Aku memang merasa sudah diperhatikan olehnya daritadi. Namun aku tidak ingin terlalu menanggapi.

"Hai gua boleh gabung?" Ia menyapa dengan senyum penuh arti. Dan terlihat kerepotan membawa barang-barangnya.

"Hmm boleh kok.." aku membalas senyumnya dan dengan sigap membantu menaruh bukunya di meja.

"Gua Ryan.." katanya sambil mengulurkan tangan.

"Oh.. Gue Clarissa"  jawabku membalas uluran tangannya.

"Sebenernya gue udah merhatiin lu daritadi" basa-basinya sedikit canggung.

"Gue udah tau kok..ha-ha-ha" kami tertawa renyah.

Sejak saat itu aku dan Ryan menjadi sangat akrab. Tak perlu waktu lama untuk kami saling mengenal, saling bertukar nomor ponsel, dan juga bertukar cerita tentunya.
Kebiasaanku setiap jumat malam di cafe menjadi schedul baru untuknya. Kami akan selalu ada ditempat itu bersamaan dengan buku yang selalu berbeda judul tiap minggunya. Dan juga laptop berisi deadline yang membuat kisruh isi kepala. Dan kekonyolannya yang selalu berhasil membuatku tertawa.

Belakangan kuketahui bahwa Ryan adalah mahasiswa UI jurusan ekonomi dan juga seorang aktor drama yang sering pentas dimana-mana. Sedangkan aku hanya mahasiswa biasa jurusan sastra.

"Elo gak takut deket sama anak drama?" katanya penasaran.

"Hah? Takut kenapa? " tanyaku heran.

"Ya anak drama kan tukang akting dan pinter bohong" katanya menjelaskan.

"Sekarang gua tanya deh, apa lo gak takut deket sama anak sastra?"

"Loh kok lo ngomong gitu?"

"Iyalah. Anak sastra kan pinter ngarang cerita dan ngerangkai kata-kata. Lalu apa bedanya lo sama gua?" tukasku.

Dia tertawa keras hingga jakunnya yang besar itu terlihat naik turun dibalik lehernya. Aku hanya tersenyum lirih dan menggelengkan kepala.
Didalam hati aku berkata: "Aku tidak pernah takut dibohongi atau dikhianati, Ryan. Karena dia yang sungguh menyayangiku akan selalu jujur."

Selasa, 11 Maret 2014

Selamat datang (kembali) cinta pertama!

"Aji jangan ganggu!" suaraku merengek manja.
Disalah satu sudut kelas sekolah dasar, teman sebangku-ku; Aji. Ia tak pernah bosan mengganggu. Mungkin mengerjai orang adalah hal yang wajib dilakukan setidaknya sekali dalam sehari.
"Aji jangan ganggu!" pekikan-ku lebih keras lagi. Ia masih sibuk mengerjai aku yang sedang menulis  dan ber-haha-hihi dengan riangnya.
"Aji! Kalo lo masih ganggu gua cium lo!" aku mengancam. Oke, mungkin ancaman ini  terlalu vulgar untuk seorang gadis kecil yang belum genap berumur enam tahun.
Dia tetap tertawa dengan suara khas-nya. Aku mengulang ancamanku. Dan akhirnya kecupanku mendarat di salah satu pipinya. Ia terdiam mematung. Seisi kelas menertawakan dan meledek bersamaan.
Aku bodoh.

                            ***

20 Februari 2014.
Seseorang mengirim pesan di-facebook-ku. Aji Saka Putra. Pesan yang kubalas sekenanya dan dia berbicara seperlunya. Dia meminta nomor telefon-ku. Aku fikir selalu ada dia dalam perjalananku itu adalah musibah yang besar. Ternyata tidak juga, teman. Dia selalu memberikan warna yang berbeda dalam kanvas-ku.
Tapi satu hal yang tak pernah bisa kujelaskan tentang dirinya hanyalah satu; perasaannya.
Dia selalu sulit ditebak. Satu malam dia bisa memanjakan aku dengan kata-kata. Namun lusa bisa saja ia tak terdengar kabarnya.
Setelah perhatian yang Ia berikan akhir-akhir ini dan kata rindu yang kami ucap tanpa henti. Ia masih membuatku selalu merasa bingung.
Pernah suatu sore kami berdebat dan ku bilang kita memang selalu berbeda pendapat. Dia dengan enteng menjawab "Jadi gak akan pernah nyatu ya?" . Aku diam. Aku menangis dalam diam.

                     ***

"Eh kok lo sekarang dipanggil aji sih?"
"Iyalah gua dari smp emang dipanggil Aji, cuma sd aja gua dipanggil Saka" Ia terbahak.
"Cuma lo doang yang manggil gua Saka" sambungnya.
"Lo berubah ya" keluhku.
"Iya gua sekarang udah banyak berubah,kan?" tekannya.
"Tapi bagi gua lo itu tetep Saka, Saka gua yang dulu!" bentakku. Ia diam.

Dia memang banyak berubah. Dia yang sekarang bukanlah yang kukenal dulu. Dulu ia adalah seorang yang tertutup hampir tak terbaca apa yang ia fikirkan dan apa yang ia mau.
Sekarang ia adalah seorang atlet silat yang mengoleksi piala dan medali, lelaki yang mulai menunjukan jati diri. Termasuk kepada wanita. Kepada aku, tentunya.
Dia lah yang mengisi kekosongan ku akhir-akhir ini. Dia juga tempatku mengubah tangis jadi tawa, tawa menjadi lebih bahagia. Dia tak pernah lupa bagaimana cara menyenangkan ku.
Mungkin dia lah lelaki yang selalu datang tanpa diminta dan tanpa kuberi kode terlebih dahulu. Dia selalu seperti itu. Entah ini kesukaannya atau rencana-Nya.
Entahlah. 

Kedatanganmu yang kesekian kali ini kumohon jangan untuk sementara.
Seperti waktu-waktu sebelumnya.
Selamat datang (kembali) cinta pertama.

Minggu, 09 Maret 2014

Dan entah kamu sebut ini apa.

Kepada pemilik senyum terluar-biasa.

Hari ini aku menutup mata dan kemudian berpikir.

Mungkin diri ini takkan sanggup lagi untuk tidak mengingatmu.

Semua tentang kamu tersimpan rapih di dalam benak.

Kamu menganggap ini puisi cinta?
Bukan, ini bukan tentang cinta.

Bahkan jauh sebelum mengenal kamu,
aku tak mengerti apa itu cinta, apa itu setia dan apa itu bahagia.

Tapi ini tentang semua hal yang kusadari nyata didepan mata.

Bergantian dari merapuhkan hingga mengkokohkan jiwa.

Seperti bola-bola tasbih yang bergantian disentuh dalam lafaz.

Seperti kincir yang berputar ditiup angin.

Seperti itulah aku memaknaimu.

Elokku, terimalah kenyataan.

Biarkan aku membahagiakanmu semampuku.

Sisanya biarlah semesta yang menghapus sisa-sisa kesedihanmu.

Maka sayangku, janganlah kamu menjauh ketika aku sibuk mendekat.

Karena aku akan berada di sisimu, hingga aku lumpuh,
Dihajar oleh jarak,
Dan waktu.

By: Cagas Satria

Sabtu, 01 Maret 2014

Teruntuk "Bintangku"

Malam dunia..masihkah setia dengan gelapmu? Seperti aku yang juga setia pada bintangku?
                       ***
Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Terlalu letih dengan pekerjaanku sendiri. Hingga tak sempat menulis cerita singkat yang (biasanya) berasal dari hati.

Sore ini aku terbangun dari tidurku. Memandang sejenak kelangit-langit kamar sambil mengumpulkan tenaga untuk beranjak agar kepala tak terasa berat. Melangkah gontai ke arah dapur untuk menengguk segelas air  dan kembali ke pembaringan. Kulirik jam dinding yang terus berdetak seperti jantungku ini yang tak lelah berhenti hingga akhirnya nanti.
"Ah..aku masih terlalu penat!" gumamku dalam hati.
Ku-cek Handphone yang sedang di-charge. Tidak ada pesan darimu maupun tanda-tanda kau merindukanku.
Entah ini detik yang keberapa sejak saat pertama aku mulai mencintaimu dan sudah berapa banyak rasaku padamu. Cinta bukanlah sesuatu yang dapat dikalkulasikan kan, Tuan?

Rindu yang tak lagi dapat terbendung, rasa dan asa yang juga tak habis dimakan waktu.
Masihkah kusebut ini bukan sebuah ketulusan?
Kamu terlalu sulit kugapai, terlalu fana kugenggam, terlalu tidak nyata kurasakan. Namun aku bisa dengan mudah memberi percaya. Aku sudah terlalu banyak berkorban hingga tak bisa lagi membedakan mana ketulusan dan mana kebodohan.

Jika benar cinta itu memang kebodohan lalu mengapa kebodohan itu sangat membahagiakan? Orang bilang jatuh cinta itu indah, tetapi tak tahukah kau bahwa yang namanya jatuh tetaplah jatuh Ia akan menimbulkan rasa sakit. Tetapi tak tahu juga-kah kau bahwa jatuh tak selamanya sakit. Kau hanya harus jatuh ditempat yang tepat—kasur misalnya. Tidak, Tuan. Aku tidak sedang bergurau. Itu mengartikan bahwa kita hanya harus jatuh cinta pada orang yang dapat membuat kita nyaman, tempat kita ingin bersandar lebih lama, dan tempat satu-satunya kita ingin mengabiskan malam.
Dan kepada orang yang mampu membuat kita ingin mencoba lagi walau sudah gagal beberapa kali, kepada yang membuat kita tersenyum walau tahu sudah membuat tangis kesekian kali.

Orang bilang "Buat apa pacaran kalau jodoh Tuhan yang menentukan?"
Bukankah pacaran itu adalah usaha? Dan bukankah Tuhan bilang  jika kita ingin mendapatkan sesuatu kita harus berusaha dan berdoa? Kita hanya perlu terus berusaha Tuan, lalu serahkan semuanya pada Tuhan.
Aku terlalu lelah berdiri diatas kedua kaki-ku. Aku ingin sesekali ada yang menopangku ketika aku jatuh, ingin sesekali menumpahkan tangis dibahu, walau kutahu sosokmu terlalu semu untuk melakukan semua itu.

Teruntuk  "bintangku"  berjanjilah padaku bahwa kau akan hidup lebih baik dari ini. Belajarlah dari pengalamanmu sendiri dan jangan gagal lagi. Beribadah lebih rajin lagi.
I (always) love you.

Senin, 17 Februari 2014

Si Hidung Bolu Kukus

Kita mungkin sering bertengkar, setiap hari  kemarahan  serasa berada diujung kepala. Kamar kita yang tak kunjung terpisah saat mental menuju dewasa membuat kita selalu berdebat. Tentang buku yang berserak, sampah dimana-mana dan pakaian kotor disetiap sudut kamar. Sifatmu yang pembersih seperti kebanyakan gadis lainnya dan kelakuanku layaknya bujangan yang tak karuan itu sangat bertentangan. Membuat kau yang kerapkali dipusingkan oleh berlembar-lembar kertas berisi omong kosong  menjadi semakin murka melihat kamar yang seperti pasar malam.

Tahukah kau wanita jalang, suara kita yang terdengar sama ditelefon membuat lelakimu keliru ketika kuangkat panggilan di-handphone blackberry-mu itu sangat lucu. Wajah bulat dengan bintik merah tanda kau sudah beranjak remaja dan hidung besar seperti bolu kukus yang mengembang dan sedikit berminyak ketika kau sedang lelah itu sangat kurindukan.
Betapa menggelikannya jika mengingat aku diam-diam menyelipkan bajumu dilemariku untuk kupakai keesokan harinya saat kencan dengan kekasihku dan sangat kaget ketika baju yang bahkan belum kaupakai itu tergeletak dikeranjang pakaian kotor. Kau mungkin marah dan berteriak tetapi tidak dengan hatimu yang sesungguhnya sangat menyayangiku.

Perkelahian yang biasa setiap hari terdengar bahkan ditengah malam itu sekarang tak bergeming  lagi. Saat aku memutuskan untuk tinggal terpisah denganmu, awalnya kau sangat senang mendengar hal itu karena tak sanggup lagi mengurusku. Tetapi lama-kelamaan rindu itu tumbuh juga dan mulai ada percikan tawa disetiap percakapan telefon.
Wanita yang pandai bersolek dan bisa berkeliling selama tiga jam penuh tanpa henti hanya untuk membeli beberapa helai pakaian itu sekarang tak bisa kupeluk lagi ketika berfoto.
Wanita itu sekarang sedang mengabdi disebuah kampung terpencil untuk menjalani KKN yang sudah ditentukan oleh pihak kampusnya. Kerapkali Ia menelfonku untuk meminta dikirimkan beberapa rupiah pulsa agar bisa tetap berhubungan.
Dan tahukah kau? Aku memiliki firasat tidak enak saat Ia harus jauh dari kota. Iya. Aku mengkhawatirkannya.
Aku khawatir pada seseorang yang bahkan bisa kubuat menangis karena kulayangkan benda dan pukulan. Dalam hatiku aku juga menyayanginya.

Hey idiot yang selalu berteriak. Berjuanglah lebih keras lagi untuk tanda dibelakang nama agar kau bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dan kita akan saling bersalaman dengan senyum yang mengembang saat sama-sama dipuncak. Karena pada saatnya aku akan merasakan bagaimana diposisimu.
Be strong Be brave!

Untuk wanita jalang yang cerewetnya bukan kepalang. Tapi selalu kusayang.

Rabu, 05 Februari 2014

Asalkan ada Dia

Aku duduk bersimpuh di balkon rumahku menikmati angin sore yang sudah bercampur polusi. Dengan sekaleng bir dan headset yang tak lepas dari telinga mendentumkan suara musik yang memecah keheningan.
Didaerah yang penuh kepura-puraan ini aku (harus) bertahan. Dimana meninggikan gengsi adalah caramu diterima oleh masyarakat. Menebar senyum palsu bagaikan seorang penjilat.
Tempat dimana barang gelap diperjualbelikan, pekerja industri yang mencari kesenangan dunia, wanita jalang dan lelaki hidung belang bermesra disetiap tempat maksiat, dan lelaki berpoles makeup mudah kau jumpai di simpang terdekat.

Menenggak bir mungkin adalah cara termudah agar aku cepat terlelap, agar dunia dan segala perbincangan orang tak terasa terlalu berat, agar bayangmu yang seperti slideshow tak terus berjalan di layar proyektor otak.
"Woy ngapain bengong disitu! " tetangga sekaligus teman sekelasku berteriak memanggilku dari balkon kamarnya yang terletak diseberang rumahku.
"Ah elu nyet ngagetin aja gua kira siapa, sini gabung daripada dikamar mulu" jawabku sekenanya.
"Oke!" katanya seraya berlari kecil turun dari rumahnya untuk menghampiriku.
Kudengar suara gerbang terbuka dan dia menaiki tangga yang memang terletak diluar rumah.
"Ngapain disini? Giliran yang enak gak ngajak-ngajak " gerutunya lalu menenggak carlsberg dingin disebelahku. Aku hanya cekikikan tanpa arti. Aku memang sering berbagi tangis dengannya, menumpahkan sakitku dibahunya, meneriakkan sumpahku pada mereka yang mencibir di telinganya, tetapi dia tak pernah merasa terganggu oleh kelakuanku yang seperti itu karena dia selalu siap menjadi tempat bersandar yang nyaman dan tangan halusnya itu selalu menyeka air mata dan menepuk pundakku.

Didaerah lahirnya gurindam 12 ini aku tidak menyangka bahwa akan mendapatkan sahabat seperti dia. Dia seperti tak lelah mendengar keluh kesahku, tentang seseorang disana yang sudah terlalu banyak menancapkan duri dijantungku, tentang sosok Ayah yang melayangkan pukulan dikepala hingga memar berkali-kali, tentang yang dulu seorang sahabat tiba-tiba menjadi seorang yang keparat.

Entahlah teman.. saat bersama dengannya selama apapun itu seakan terlewati hanya sekejap mata, terkadang aku hanya melewati mingguku dengan bersandar dipundaknya dan membisu tetapi seakan telah berbincang sangat lama dengannya.
Kedekatan kami tidak pantas disebut sebagai sahabat tetapi terlalu canggung untuk menyebutnya sebagai sepasang kekasih. Kami seperti nyaman dengan segala ketidak-jelasan ini. Ketidak-jelasan yang membuatnya menjadi indah, jadi candu jadi rindu...

Suatu malam hujan dengan dingin yang menusuk, suara angin beradu, dan petir yang mengkilat disetiap sisi langit ia dikamarku. Malam ini seperti biasa aku bersandar dipundaknya, suara gemuruh malam itu menambah erat pelukannya. Sambil menatap layar TV ditemani dua gelas coklat panas dan Ia disisiku semua terasa lengkap. Aku tak perlu merasa ketakutan walau diluar terjadi hujan dan badai sekalipun. Asalkan ada dia.
Dia mengelus rambutku yang tergerai sebahu dan mengecup keningku. Aku tersentak, kutatap matanya dalam-dalam. Dia juga membalas tatapanku dan tersenyum lirih. Entah apa artinya senyuman itu tetapi terhenti saat dia mengecup bibirku.
Aku memejamkan mata dengan bibir setengah menganga mengingat apa yang baru saja ia lakukan. Dia menyebut namaku dan berkata "Mel, berjanjilah untuk tetap menjadi sahabat terbaikku."
Aku terdiam. Setelah ciuman pertama ku itu dia masih ingin kita (hanya)  bersahabat?
Aku hanya mengangguk pelan.

Tidak apa-apa. Asalkan ada dia.

Sabtu, 01 Februari 2014

Lamunan selai kacang

Aku terduduk menikmati semilir angin laut yang dingin yang tak lebih beku dari sikapmu. Sambil menatap plafon dunia yang dihiasi cahaya yang tampak lebih kecil dari ukuran sebenarnya karena jarak. Iya. Mungkin kamu layaknya taburan bintang itu, yang akan tetap indah meski terhalang jarak dan tak bisa kugapai. Tapi selalu setia memperhatikanku dari balik awan-awan.

Aku termenung disini duduk disebuah lesehan makanan dengan taburan selai kacang kesukaanku. Dengan suara deru kendaraan, penggorengan, dan semerbak bumbu khas jawa yang kental aku mencoba mengingat satu tahun yang lalu.
Saat dimana hujan menahan kita berdua disebuah ruko kecil sepulang sekolah. Yang semula ruko itu ramai oleh anak-anak lain yang juga berteduh karena cuaca siang itu sungguh tak bersahabat kemudian satu per satu pergi saat hujan mulai mereda.
Kita berdua masih bertahan disitu seperti tak ingin kehilangan momen, saat aku ingin berlari dan mencoba melawan hujan kamu melarangku. Kamu menggenggam tanganku erat-erat menghembuskan angin hangat dari bibirmu yang tebal, kejadian itu sangat jelas teringat seperti tertulis di setiap sel otakku. Dengan baju yang lembab kita berjalan beriringan, menggenggam tangan, sesekali bermain dengan hujan dan genangan air. Seragam sekolah yang basah kuyup waktu itu seperti tak terasa karena kehangatan dihati kita masing-masing.

Mungkin hal seperti itu tidak akan terjadi lagi setelah aku memutuskan untuk pergi kedunia yang belum kukenal, daerah yang jauh dari pandanganmu, dan tempat orang asing berlalu-lalang dihadapanku. Tahukah kau Sayang bahwa aku selalu merindukan jejakmu disini? Merindukan setiap hal yang biasa kau lakukan, gayamu saat makan dan tutur bahasamu, terlebih lagi saat kamu tersenyum dan melingkarkan jemarimu dijemariku.
Lebih rindu lagi kepada harum rambut dari kepala yang biasanya bergolek manja dikedua pahaku, kecupan dikening sebelum pamit pulang setelah puas bermesra seharian denganku.

Aku mungkin tidak sesuci malaikat ataupun semulia dan seagung Tuhan untuk mengetahui isi hatimu sekedar ingin tahu  adakah terselip sedikit rindu dihembusan nafasmu.
Yang aku tahu adalah saat aku duduk bersila dihadapan Tuhan setelah selesai menunaikan beberapa rakaat perintah dari-Nya aku selalu menyelipkan namamu untuk selalu dijaga oleh-Nya, oleh pelindung terbaik sepanjang masa. Agar hatimu ditabahkan fisikmu disehatkan kehidupanmu dilancarkan dan fikiranmu  ditenangkan agar tak khawatir karena aku juga selalu dijaga oleh-Nya.

Tahun sudah berganti, hari dan bulan juga seperti tak lelah untuk terus berjalan. Kita masih dalam perjuangan masing-masing, perjuangan untuk membuat anak cucu kita tidak akan merasakan bahwa hidup ini terlalu keras. Perjuangan menata masa depan yang bukan hanya sekedar baik tapi juga indah.
Untukku, kenangan dan kamulah yang seakan menjadi suplemen bahwa aku harus lebih baik dari hari ini. Semangat agar waktu cepat berlalu untuk berjumpa denganmu dan menceritakan hal-hal hebat yang sudah aku lalui selama ini.

Mungkin aku memang sempat termenung disetiap perpisahan kita, tapi setelah aku menangis dan berteriak seperti bocah kecil yang kehilangan mainannya aku akan tersenyum lagi bahkan senyum yang lebih merekah dari sebelumnya layaknya  pelangi setelah hujan dan badai karena aku selalu percaya cinta akan membawamu kembali padaku diwaktu yang tidak hanya tepat namun juga indah.
Tunggulah sebentar lagi Sayang.. Kumohon bertahan sedikit lagi.. untukku..

Kamis, 30 Januari 2014

Apa kabar Sayang

Malam sayang.. Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah seninmu menyebalkan?
Ketika aku menulis beberapa kalimat diatas sambil membayangkan raut wajahmu, tiba-tiba Handphone ku berdering. Tergesa dan bingung aku menjawab panggilan darimu. Suara mu yang lembut menyapaku dari ujung pulau sana menanyakan hal-hal kecil yang menurutku sangat standar tapi membahagiakan. Saat kutanya mengapa menelponku malam-malam begini kamu tidak menjawab. Dengan begitu lugunya aku berkata 'kangen ya?' saat itu juga kamu tertawa kecil. Mungkin bodoh juga aku berfikiran bahwa kamu menelfonku karena pedihnya menahan rindu tapi mungkin memang itulah yang terjadi padamu. Tunggu dulu, padamu? Bukankah yang kau alami itu terjadi padaku juga? Apakah aku terlalu munafik?
Aku tidak heran oleh sikapmu yang tiba-tiba berubah menjadi sosok perhatian setelah perpisahan kita. Aku selalu menganggap mungkin belum terbiasa bagimu untuk tidak mengetahui kabarku, tetapi terlalu asing juga  jika tetap berhubungan dan mengetahui bahwa kita tidak lagi saling terikat.
Percakapan manis pukul 10 malam itu benar-benar berhasil membuatku jatuh cinta lagi padamu untuk yang kesekian kalinya.
Kamu bercerita bagaimana lucunya kicauan ku di twitter mengenai dirimu seakan kerinduanku adalah sesuatu yang pantas untuk ditertawakan. Dan aku juga berkomentar tentang isi mention-mu dengan beberapa wanita yang tidak kukenal. Tapi menurutmu itu adalah hal yang wajar.
Kamu selalu seperti itu, selalu mencari sosok yang bisa menggantikan posisiku setelah perpisahan kita walaupun kau tahu usahamu tidak akan berhasil dan akhirnya akan tetap menangis saat menghubungiku dan berkata bahwa akulah yang paling kau cintai.
Sayang.. telingaku seperti sudah tuli tidak ingin mendengar kau mengemis karena aku tahu ucapanmu itu seperti angin malam yang menyejukkan namun akan lenyap ketika fajar menyingsing. Ketika bahkan berpuluh kali kuberi kau kesempatan kita akan tetap berpisah karena masalah yang sama.
Aku muak Sayang.. Aku muak dengan jarak dan rindu ini.  Yang sepertinya selalu berhasil menambah alasan perdebatan kita. Yang tak henti-hentinya kita ungkit keberadaannya. Terkadang aku berpikir apakah ini kesalahanku yang telah berkelana terlalu jauh darimu, ataukah ini memang cobaan atas cinta kita? Aku tidak pernah tau rahasia Tuhan. Tuhan memang hebat, dia bisa menciptakan jarak untuk memisahkan dua insan yang saling menyayangi namun dia juga terlalu agung menciptakan rindu yang lebih luas daripada jarak itu sendiri.
Namun aku selalu percaya jika cinta diantara kita benar ada Tuhan selalu punya cara untuk mempertemukan.

Minggu, 26 Januari 2014

"Yaudah kita putus"

"Yaudah kita putus"
Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar dari ujung telefon. Kalimat dari suara bariton  khas seseorang yang sangat familiar ditelinga ku. Bahkan aku bisa tidur nyenyak hanya dengan mendengar suara itu.
Suara dari seseorang dengan tubuh tinggi semampai dan hidung bangir keturunan sumatera itu. Ia benar-benar membuatku buta sekaligus bisa melihat dalam satu waktu menunjukan padaku  bahwa cinta itu benar ada. Ia yang membuat nafasku seakan berhenti dan jantungku berdegup kencang hanya dengan menatap matanya. Sosok dengan sejuta kesederhanaan dan kepolosan yang kadang membuatku tertawa hingga melupa bahwa ia adalah seorang yang lebih dari teman.
Tapi itulah dia, yang selalu bisa membahagiakanku dengan caranya sendiri, tanpa limpahan materi ataupun rupa yang trendy. Yang membuatku jatuh cinta dengan begitu indahnya. Ia bukanlah orang yang pandai bernyanyi ataupun membuat puisi, tapi ia adalah orang paling tulus yang selalu mencoba membahagiakanku dengan usahanya sendiri.
Diantara jarak ribuan kilometer ini memang tidak ada yang bisa kita lakukan selain memeluk dengan doa. Terkadang rindu itu memuncah ruah pecah menjadi tetesan diujung mata. Ketika sosok yang terbiasa mengucap  selamat pagi kini tak bisa dengan mudah kukecup lagi.
Mungkin jarak ini merubah sifatmu menjadi pencemburu egois yang hanya menilai kedekatanku dengan mereka menurut sudut pandangmu saja. Yang menganggap bahwa aku melupakanmu ketika bersuka-ria bersama mereka.
Aku tidak semurahan itu. Aku bukan tak ingat padamu, hanya saja aku ingin menerima kenyataan bahwa tak setiap menit bisa kita habiskan bersama, tak setiap waktu kala kau ingin bertemu denganku kita bisa langsung bertatap mata.
Saat kau bilang tak percaya padaku aku tak bisa berucap, hanya air bening hangat yang mengalir dipelipisku lah yang mampu menjelaskan semuanya, saat bibir tak sanggup berkata. Yang kupikirkan saat itu adalah apalagi yang lebih sia-sia selain setia tetapi tidak dipercaya.

Minggu, 05 Januari 2014

With You

Ketika berdua denganmu jemariku terasa kaku, bibirku kelu, dan hatiku beku. Mata yang seakan bicara denganmu, detak jantung yang terus berderu, dan bisikan lirih dalam hatiku. Aku seakan menikmati momen seperti ini; ketika bahkan sepatah kata, sebuah kalimat, maupun ribuan paragraf tak mampu menjelaskan getaran aneh yang dirasakan oleh dua insan ini. Iya. Mungkin terlalu dini untuk menyebut ini cinta. Tapi, Tuan? Benarkah yang kurasakan ini juga kau rasakan? Benarkah semua yang kutuliskan pada layar segi empat ini sama persis seperti yang kau alami? 

Aku tidak pernah tau isi hatimu Tuan. Aku hanya bisa mencintaimu dengan cara yang paling pengecut. Karena aku tahu, dihatimu sudah ada seorang yang lain, dan kaubilang tak ingin mengkhianati dia yang mempercayai. Tetapi Tuan, jika benar dihatimu sudah ada sosok yang tak bisa kau ganti, bolehkah aku wanita lancang ini meminta sedikit tempat bergolek dihatimu? Hanya untuk sekedar menikmati hangatnya rengkuhmu dalam beku, cumbumu dalam sendu, dan indahnya kau rindu?

Aku masih tidak mengerti Tuan, oleh sikapmu yang terkadang hangat seperti mentari pagi lalu berubah menjadi derasnya hujan yang dingin menusuk relung hati. Jika memang dihatimu ada orang lain, lalu kenapa berulang kali setiap aku mencoba untuk tak menghubungimu kau selalu mengucap kata rindu membuat dirimu semakin mengiang disetiap sudut otakku. Lalu mengapakau tidak pernah menolak ketika kupeluk, kenapa tak kau coba menhindar ketika kugenggam jemari tanganmu yang besarnya dua kali lipat dari tanganku? 

Benarkah aku sudah mencuri perhatianmu Tuan? Benarkah kita sudah sejauh ini? Benarkah kau rasakan denyut yang sama dan seirama denganku? Entahlah.. Aku hanya bisa mencintaimu dalam diam. Cara mencintaimu yang menurutku paling berani. Dan yang paling pecundang menurut orang lain. 

Kehilangan Sosokmu

Hari ini kamarku terasa lebih dingin dari biasanya. Tak ada lagi bunyi dering Handphone yang setiap pagi membangunkanku dari indahnya mimpi. Tak ada lagi ucapan "Selamat Pagi" yang biasa kudengar diujung telefon. 

Hari ini seperti biasa aku menjalani hari membosankanku tanpamu. Dengan segala aktivitas yang tidak berubah setiap harinya. Semua monoton, seperti bisa kutebak. Tidak ada lagi kejutan kecil yang selalu kau isi setiap harinya.

Hati ini seperti tak terhenti aktivitasnya. Selalu mencari bayangan semu tentangmu, mengais perhatian yang dulu hanya tercurah untukku seakan tak pernah ada orang lain yang bisa menikmatinya selain aku; permaisuri dihatimu. Tetapi sekarang semua hilang seperti istana pasir yang tergerus debur ombak, istana didalam hati yang selama ini kita bangun dari cinta, tangis, dan rindu. Jarak ini seakan iri pada kita; iri pada setiap perjuangan yang telah kita korbankan demi satu nama. Tapi, apakah masih kusebut perjuangan jika hanya aku yang berjuang sendiri? Tentu tidak Sayang.
Kau bilang sudah muak dengan sikapku, kau bilang hubungan ini butuh pertemuan, kau bilang tidak bisa membahagiakan seorang wanita jika ia hanya bayangan semu.

Aku mengerti Sayang. Cinta bukan hanya sekedar mencurahkan perhatian melalui pesan singkat, ataupun melepas rindu dengan percakapan manis diujung telefon. Tapi belakangan ini kau berubah. Kerapkali kau mengucapkan kata kasar dan seisi taman safari disela-sela perdebatan kita. Beberapa kali juga kudengar kau sempat dekat dengan beberapa wanita. Kau tahu Sayang apa yang kurasakan saat itu? Tentu kau tak tahu. Karena sesungguhnya bukan jarak yang memisahkan kita, tapi sikapmu pada mereka